Jumat, 06 Juni 2014

Tidak Konsisten: Harusnya Penghobi bukan Pehobi?

Kita acap mengatakan tidak konsisten ketika ada sesuatu yang menyimpang dari aturan formal yang kita pahami. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Orang langsung mengatakan tidak konsisten ketika menemukan bentuk yang menyimpang dari aturan tata bahasa.

Itu pula yang terjadi dalam sebuah diskusi internal mengenai bahasa Indonesia di kantor saya. Seorang teman dengan penuh semangat mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak konsisten. Apa pasal? Teman saya ini melihat, bila pe- bertemu kata yang diawali konsonan /h/ menjadi peng- mengapa ketika bertemu dengan kata  hobi menjadi pehobi bukan penghobi sebagaimana pe+hubung menjadi penghubung, pe+hujat menjadi penghujat, pe+hasut menjadi penghasut, pe+hafal menjadi penghafal, pe+hormat menjadi penghormat, dan seterusnya.

Sebelum menjawab rasa ingin tahu teman saya, ada baiknya kita pahami dulu bahwa tata bahasa sejatinya hanya menampung apa yang ada dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dibuatnya berdasarkan data yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, ketika menemukan suatu bentuk yang tidak sesuai dengan aturan yang ada jangan terburu-buru mengatakan bahwa itu tidak konsisten. Tetapi, kita harus memahami bahwa itulah yang terjadi dalam realitas kebahasaan kita. Kita perlu menguji dulu mengapa bentuk itu terjadi. Jangan sampai kita mengatakan suatu bentuk tidak konsisten hanya karena ketergesaan.

Kembali ke persoalan kita. Karena tata bahasa hanya menampung realitas bahasa yang ada, artinya pehobi merupakan bentuk yang memang ada dan hidup dalam masyarakat.   Bila mengacu pada argumentasi yang diajukan teman saya, sudah pasti bentuk ini tidak konsisten. Tunggu dulu. Saya masih ingat, ada relasi antara me- dengan pem- dan ber- dengan pe-.  Mari kita buktikan: kata menulis berelasi dengan penulis, membeli berelasi dengan pembeli, menubruk berelasi dengan penubruk, bertani berelasi dengan petani, bertualang berelasi dengan petualang. Akan halnya pehobi, tampaknya kata ini diturunkan dari kata berhobi. Kenapa berhobi? Karena tidak ada bentuk menghobi  sebagaimana tidak ada bentuk menani. Jadi, pehobi adalah bentuk yang benar dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Masih mau mengatakan bahwa itu tidak konsisten.

Agar teman saya tidak sedikit-sedikit mengatakan tidak konsisten, kita lihat ada juga bentuk lain yang bisa dianggap tidak konsisten. Mengapa standar+isasi menjadi standardisasi bukan standarisasi, efektif+itas menjadi efektivitas buka efektifitas, aktif+itas menjadi aktivitas bukan aktifitas. Itu terjadi karena yang diserap dari kata-kata tersebut bukan kata dasarnya. Standar merupakan serapan dari standard, standardisasi merupakan serapan dari standardization bukannya  standar+isasi. Efektif merupakan serapan dari effective, efektivitas merupakan serapan dari effectivity bukannya efektif+itas. Adapun aktif merupakan serapan dari active, aktivitas merupakan serapan dari activity bukannya aktif+itas.

Semoga saja dengan penjelasannya ini teman saya jadi tidak mudah untuk mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten. Iya tidak man. 

Minggu, 01 Agustus 2010

Opera Anak: Betapa Susahnya Meng-creat Anak-Anak



Ketika diminta menjadi kreatif dan penulis skrip untuk Opera Anak Endong di Trans7, saya dan teman-teman sudah membayangkan, akan banyak kesulitan yang akan dihadapi.

Pasalnya, kami harus menyuguhkan acara komedi anak. Kami harus membuat anak-anak bisa melucu sepanjang acara itu. Kami sudah membayangkan, akan sangat sulit meminta anak-anak untuk mematuhi permintaan skrip. Tapi, satu hal yang pasti, kami sangat menyadari satu sifat dasar anak-anak, yaitu bermain.

Dengan berpatokan pada karakter dasar anak-anak yang senang bermain, kami mengatur strategi menghadapi anak-anak agar bisa mencapai sesuai dengan permintaan skrip. Mereka mematuhi apa yang tertulis di skrip dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa atau terbebani. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain bersama anak-anak ini sepanjang latihan blocking dan reading.

Kami bermain bersama anak-anak itu sepanjang latihan sebelum syuting. Kami perlu mengakrab diri dengan anak-anak, karena dengan begitu emosi kami akan menyatu. Sebab, menurut hasil diskusi kami, anak-anak cenderung menarik diri terhadap orang asing atau orang-orang yang tidak begitu dikenalnya. Jadi, kami tidak mungkin bisa meminta anak-anak melakonkan suatu peran atau meminta anak berakting sesuai dengan karakternya kalau tidak dekat secara emosional dengan anak-anak ini.


Tapi, satu persoalan lagi menghinggapi kami. Ternyata kemampuan anak-anak yang mendukung Opera Anak berbeda-beda. Ada yang sudah mahir memahami skrip, tapi ada yang tidak terlalu paham dan masih bingung bahkan cara membaca dialognya belum baik. Sudah begitu usianya tidak seragam. Ada yang masih belum sekolah, ada yang masih TK, ada yang SD, tapi juga ada yang SMP.

Untunglah masih ada yang bisa menjadi andalan dari kelompok anak-anak ini, sehingga dia bisa menjadi leader untuk merajut benang merah cerita. Selain itu, untuk anak-anak yang balita benar-benar, sekitar 3-4 tahun, kami menyiasati dengan memberi dialog pendek dan berulang-ulang dalam skrip. Misalnya, “Aku centeng, aku galak”. Dialog ini yang selalu diucapkan di setiap kemunculannya.

O, iya Opera Anak menggunakan skrip penuh, bukan treatment. Jadi, kelucuan yang timbul memang tertulis lengkap dengan dialognya, meskipun masih terbuka peluang improvisasi—seperti karena lupa skrip, bingung, atau kesal. Yang pasti, kami memang meng-creat semua anak-anak seperti sedang bermain, sehingga bila lupa atau kesal mereka masih bisa melanjutkan cerita.

Sebenarnya masih banyak yang harus diungkapkan, tapi harus syuting lagi nih. Opera anak! Endoooo....ng!

Minggu, 22 November 2009

Lawakan Solusi

Terkadang dalam melawak di depan umum kita merasa tidak mampu menyatukan emosi penonton dengan kita. Selain itu, terkadang kita juga suka kehabisan bahan atau ide. Biasanya, para pelawak—paling tidak beberapa pelawak yang sempat saya tanyai—memanfaatkan keadaan di sekelilingnya. Atau, dengan menggunakan jurus lawakan yang paling mudah. Yaitu:


1. Mengartikan kata
Misalnya melawak dalam rangka memperingati hari Pahlawan. Kata pahlawan bisa disingkat dengan memberikan makna baru. Misalnya skrip lengkapnya:

- Kata pahlawan punya artinya tersendiri
+ Atersendiri gimana?
- Pah artinya pahala, la artinya laksanakan, wan artinya perlawanan.
+ Jadi pahlawan artinya apa?
- Pahlawan, pahala yang didapat karena melakukan perlawanan…terhadap penjajah!

Cara seperti ini biasanya efektif menyatukan emosi penonton dengan pelawak. Selain itu, bisa juga nama kepala desa, lurah, atau tokoh masyarakat kita perlakukan seperti itu. Tentunya, dengan artinya yang baik.

2. Kata berujung sama
Selain itu, solusi yang paling gampang lagi adalah dengan mencerocoskan kata-kata yagn berujung sama. Misalnya:

Gue emang orang penting, yang sukanya nglinting, pakenya gunting, dikejar orang sinting, ntar juga dibanting sampe bunting.

Pemakaian kata yang berujung sama—seperti -ting di atas—ternyata mampu mengikat pendengar untuk menunggu kata berikutnya dari si pelawak.



3. Pantun
Pantun sejatinya merupakan lawakan yang paling mudah dan biasanya bias selalu mengundan tawa penonton, minimal tersenyumlah. Tapi, pantun bagaimana yang bisamengundang tawa. Bila kita menggunakan pantun baku seperti:

Tapi, pantun gaul atau pantun yang sampiran dan pilihan katanya sudah akrab dengan kita. Dan buatlah sebias mungkin pantun itu sudah lucu sejak sampiran. Misalnya:Namun, setiap pelawak hampir tidak pernah memakai hanya satu gaya lawakan. Dia bisa memakai beberapa sekaligus.

Minggu, 08 November 2009

Melawak, Beraneka Caranya

Dari perjalanan dunia lawak kita, sejatinya lelucon lawak kita hanya terbagi dalam enam bagian besar. Para pelawak kita berusaha mengundang tawa dengan lawakan-lawakannya.

1. Lawakan jorok/porno

Saya sering menyebut lawakan jenis ini sebagai lawakan pasar. Pasalnya, setiap orang berpotensi bisa membuat lelucon yang porno ini. Coba saja tengok orang yang bererumun dan tertawa-tawa, paling tidak mereka tertawa dengan melontarkan lawakan porno. Biasanya, saya menyarankan lawakan ini sebagai lawakan pamungkas ketika sudah tidak mampu lagi membuat tawa penonton. Biasanya lawakan porno memang komunikatif, karena setiap orang pasti tahu. Kendati begitu, sekali lagi saya menyarankan hindari lawakan jenis ini.

2. Lawakan fisik

Lawakan yang modal dasarnya adalah dengan mengekploitasi fisik lawan bermain. Dulu Big Dikcy dan Adul sering dijadikan bahan lawakan model ini untuk menimbulkan kelucuan. Atau bagaimana warna kulit dan wajah Bedu yang tidak ganteng sering dijadikan bahan bagi lawan bermainnya dama Ngelenong Nyok! Begitu pula dengan nasib Narji dari Grup Cagur dalam Chating di TPI.

Big Dikcy kerap dianalogikan dengan kulkas tiga pintu, truk tronton, bus malam, beruang, jin tomang. Adul disamakan dengan kecebong, nyingnying, tikus got, tuyul. Adapun Bedu disamakan dengan aspal, pantat panci, dakocan, kopi, manggis, arang, dan saebagainya. Narji juga terkenal dengan wajahnya yang jelek dan disebut juga dengan anak beruang.

Yang lebih parah dalam lawakan fisik adalah mencela atau menghina orang secara berlebihan. Agaknya, hal ini didasari oleh premis bahwa orang sesungguhnya senang melihat orang lain susah. Maka itu, selalu ada korban dalam lawakan jenis ini. Bukankah, si Omas dulu sering disebut gigi mancung. Misalnya: di mana-mana orang yang mancung hidungnya, ini malah giginya. Namun, bukan berarti yang menjadi korban dari lawakan model ini menjadi kurang unggul. Kita bisa melihat ada Yati Pesek, Tukul Arwana, Gogon, Adul, Narji, Bedu, Oki Lukman. Terkadang kekurangan fisik bisa mencuatkan anam seseoarang.

Tapi, lawakan fisik tidak selalu berhasil. Apalagi bila celaan fisik membuat lawan main kita tidak nyaman. Selain itu, melawak hanya mengandalkan lawakan fisik menunjukkan kedangkalan kita dalam melawak. Atau, juga penonton bisa mengira kita kehabisan bahan.

Malah saya pernah mengharamkan lawak fisik ketika mengkreatifi pelawak pemula untuk terjun dalam lomba. Pasalnya, lawak fisik tidak mencerminkan lawakan intelektual. Pasalnya, ketika itu grup lawak pemula ini adalah mahasiswa.

3. Lawakan kasar

Lawakan kasar atau biasanya juga disebut slaptis. Lawakan ini sejatinya juga hanya urusan kekerasan fisik. Orang terjengkang. Terjatuh. Terpeleset. Duduk tidak tepat di kursi hingga terjatuh. Kejedot. Benturan orang dengan orang. Orang dipukul/ditampar. Salah memasukkan makanan ke mata bukannya ke mulut. Orang terkena bom tidak apa-apa hanya hangus dan bajunya sobek-sobekk. Bahkan, seperti film-film komedi lama kita yang sering ramai dengan adegan orang terkena timpukan kue tart.

Lawakan jenis ini efektif untuk memancing tawa orang dari segmen kelas bawah kendati kelas di atasnya juga acap bisa menikmatinya. Untuk audiens anak-anak, lawakan jenis ini lebih efektif untuk memancing tawa ketimbang lawakan jenis lainnya. Makanya dalam sirkus acap ditampilkan badut-badut yang melawak secara slaptis.

Lawakan slaptis ini kini kerap dihindari, kecuali oleh para pelawak yang berlatar tradisi.


4. Lawakan parodi/pelesetan

Parodi jenis lawakan yang paling sering ditampilkan oleh Project Pop. Yaitu memelesetkan sesuatu yang sudah diketahui oleh masyarakat. Seperti bila dalam cerita Jaka Tarub yang mencuri selendang terbang adalah Nawang Wulan, bisa saja ternyata Nawang Wulan yang mencuri baju si Jaka Tarub agar dia mau menjadi kekasihnya. Atau ketika Nawang Wulan bisa kembali ke khayangan karena menemukan selendang terbangnya, jaka Tarub nekad nyusul ke bulan bersama anaknya.

Sejalan dengan gaya lawakan parodi ini, yaitu lawakan banci-bancian. Lelaki memakai pakaian wanita dan bergaya overakting sebagai wanita yang melakukan hal-hal yang tabu dilakukan wanita, seperti menyingkap roknya sendiri.


5. Lawakan metropolis/intelek

Lawakan yagn dibawakannya merupakan lawakan kota. Maka, peran-perannya pun seperti pengusaha, karyawan, ibu rumah tangga dan lain-lain. Lawakan mertropolis seperti yang ditampilkan oleh Extravaganza dan Ngelenong Nyok!

Selain itu, penampilan pera pelawak baru, yang notabene mahasiswa atau sarjana, kerap menampikan lawak metropolis ini. Lwakan metropolis ini diawali oleh trio Warkop—Dono, Kasiono, Indro. Penampilan mereka semua seperti orang-orang kota dan dengan lelucon yang lebih tertata. Lawakan seperti ini kerap juga disebut lawakan intelek.

Karakter yang ditampilkan dalam lawakn metropolis ini berubah-ubah bergantung pada kebutuhan cerita yang dimainkan.


6. Lawakan tradisonal

Lawakan jenis ini seperti yang ditampilkan oleh Ketoprak Humor. Secara perorang pelawak kita yagn etetap mempertahankan ciri ketradisionalannya adalah Jojon. Model lawakan yang hanya mengandalkan gestur dan karakter yang selalu sama. Citra yang ditampilkan, kendati dia berganti karakter, selalu sama.

Minggu, 01 November 2009

Mari Melucu, Mari Melawak

Hal yang paling utama dalam melawak adalah melucu Melawak tanpa melucu adalah suatu kemustahilan. Tapi, apa sebenarnya lucu itu?

Seorang pemimpin pabrik tawa Srimulat, Teguh, pernah berujar bahwa lucu itu aneh. Agaknya, inilah yang mendasari mengapa para pemain Srimulat berpenampilan aneh. Lihat saja penampilan Gogon dengan rambut jambulnya, atau Mamik “Kepodang” Prakoso dengan rambut di sisi kepalanya bak bulu burung. Tentu masih ingat Asmuni dengan kumis caplinnya.

Penampilan seperti itu sejatinya juga untuk mempersiapkan penonton bahwa mereka sedang menonton lawak. Dengan begitu, penonton sudah siap untuk tertawa. Itu dari sisi penampilan. Dari sisi lelucon pun Teguh memegang prinsip yang sama. Lucu itu aneh. Aneh itu menyimpang. Tampaknya, soal yang satu ini, sejalan dengan pendapat bahwa lucu itu sesungguhnya adalah logika yang menyimpang. Ada juga yang menyebut logika mencong.

Jadi, lucu itu bila terjadi suatu ketidaklaziman atau aneh itu tadi। Bila orang berpikir lurus atau linear, maka para pelawak harus membelokkan yang lurus tadi. Pelawak memang harus berpikir tidak seperti orang kebanyakan. Misalnya:

Seseorang mencari susu di sebuah toko.

Penjual : Cari susu apa? Susu sapi, susu
kedelai, atau susu kambing।
Pembeli : Susu kupu-kupu.
Penjual : Mana ada susu kupu-kupu
Pembeli : Ada. Susu kupu-kupu malam
Penjual : ?!?

Mari kita lihat. Ketika penjaga toko mengatakan bahwa memangnya kupu-kupu ada susunya. Ini adalah cara berpikir lurus atau linear. Logika ini kemudian dibelokkan oleh orang yang mencari susu dengan menjawab kupu-kupu malam.

Kelucuan terbangun bukan saja karena logika yang mencong, melainkan juga oleh melompatnya pikiran dari kupu-kupu yang merupakan serangga menjadi kupu-kupu malam yang tentu saja manusia। Hal ini pun sesuai dengan formula set-up dan punch line.

Kamis, 12 Juni 2008

Jangan Coba-Coba Melawak


Saya sudah sekitar sepuluh tahun lebih menulis naskah komedi untuk televisi. Sudah lama ya. Seperti para resi dan empu zaman dulu, ketika merasa ilmu sudah dikuasai dengan baik dan sudah berpengalaman maka harus bersiap-siap menyebarkan ilmu. Maaf, kalau saya terkesan agak sombong.

Nah, karena berpinsip yang sama dengan para empu, saya merasa kini sudah saatnya menulis buku perihal komedi. Semua yang namanya komedi mulai dari lawak hingga sinetron pernah saya tulis. Lika-liku menulis komedi pernah saya alami.

Kini saya ingin menyoroti dunia lawak kita. Saya sering melihat, para peserta lomba lawak yang begitu semangat ketika akan lomba. Swear, saya gembira melihatnya. Sejatinya, semangat dan keyakinan adalah permulaan untuk kemenangan. Tapi, apa boleh buat, yang saya lihat kemudian sang peserta itu kemudian tertunduk lesu bahkan menangis ketika usai beraksi di depan juri. Apa pasal? Ternyata lawakannya tidak “dibeli” para juri dan audiens yang melihat.

Di sini memang ada kesalahan. Semangat yang begitu besar ternyata tidak dibarengi oleh pengetahuan bagaimana melawak itu sebenarnya. Bermodal pengalaman mengkreatifi sebuah grup lawak dan menulisi naskah para pelawak, saya ingin memberikan beberapa trik dan tip melawak dalam buku yang sedang saya tulis. Mulai dari persiapan, cara membuat joke dan naskah hingga pemampilan di panggung.

Untuk sementara buku saya ini berjudul: Jangan Coba-Coba Melawak. Pasalnya, kebanyakan kita yang sudah bisa melucu di depan teman-temannya merasa sudah bisa melawak. Memang, sebab melucu itu gampang, melawak belum tentu! Tunggu ya bukunya!

Jumat, 09 Mei 2008

Bentuk Kekecualian



Yang menggelisahkan saya akhir-akhir ini adalah soal penyeragaman dalam media massa kita. Bila penyeragaman itu hanya untuk mengkonsistenkan dalam menerjemahkan akta asing, saya malah salut. Misalnya saja semua kata dalam bahasa Inggris yang berakhiran -ity diterjemahkan dengan –tas karena mengacu pada bentuk sebelumnya seprti university menjadi universitas, commodity menjadi komoditas, perubahan selebrity menjadi selebritas bisa diterima. Tapi, mengapa kita harus menyeragamkan semua kata yang berhuruf awal k, p, t, s, yang diberi imbuhan me-. Padahal, tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang seragam atau konsisten dengan aturan tata bahasanya sendiri. Mengapa mereka tidak menyikapi bentuk yang berbeda itu sebagai sebuah bentuk kekecualian, seperti dalam bahasa Inggris. Jadi, bentuk mempesona biarlah seperti itu tidak perlu menjadi memesona, mempunyai tidak perlu menjadi memunyai.

Menurut hemat saya, bentuk mempesona atau mempunyai memiliki alasan sendiri secara etimologi. Mengapa mempunyai tidak menjadi memunyai karena kata punya sebenarnya dari kata empunya sehingga tidak mungkin menjadi memunyai. Selain itu, secara fonologis pun mempunyai lebih enak didengar dan mudah diucapkan ketimbang memunyai. Begitu pun dengan kata mempesona pasti memiliki alasan etimologis dan fonologis sendiri.

Jadi, kalau kita menemukan suatu bentuk dalam bahasa Indonesia yang tidak tidak sesuai dengan bentuk-bentuk lain, jangan langsung mengambil kesimpulan bahwa bentuk itu inkonsisten. Anggap saja itu merupakan bentuk kekecualian. Ingat, bentuk-bentuk kekecualian seperti ini sebenarnya merupakan kekayaan bahasa Indonesia yang harus dijaga bukan malah dihilangkan atas nama ketaatasasan.

O ya, perihal persoalan seperti itu saya bahas pada salah satu bagian dari buku saya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik (Andi Publisher, 2008).