Lenong betawi dulu pernah berjaya. Setiap hajatan orang selalu menanggap lenong untuk hiburannya semalam suntuk. Namun, waktu telah mengggerus kepopulerannya. Revitalisasi sudah, dukungan sudah. Si teater tradisional Betawi ini tetap saja melenggang di jalan sepi.
LENONG betawi kian samar keberadaannya, seakan tenggelam di tengah kesibukan kota yang kian tak peduli pada panggung tradisi. Padahal, pada era 1950 hingga 1970-an, lenong sempat menjadi primadona hiburan masyarakat Betawi.
Ketika itu, lenong betawi bukan hanya pertunjukan, melainkan
juga ajang kegembiraan yang mempererat warga kampung. Setiap hajatan
besar—mulai dari pesta pernikahan, khitanan, hingga acara syukuran—nyaris
selalu menghadirkan lenong sebagai hiburan utama. Penonton tak segan bergadang
semalaman hanya untuk menikmati kisah-kisah lucu, cerita kepahlawanan, hingga
sindiran sosial yang dibawakan para pemain lenong dengan bahasa Betawi yang
khas.
Kejayaan lenong di masa itu didukung erat oleh suasana
masyarakat yang masih akrab dan guyub. Kehidupan sosial yang lekat memberikan
ruang bagi lenong tumbuh subur sebagai cermin kehidupan sehari-hari:
menertawakan kesulitan hidup, mengkritik perilaku serakah, serta menyampaikan
pesan moral yang mengena. Namun, seiring perkembangan zaman, modernisasi menghadirkan
bentuk hiburan praktis dan cepat.
Bisa punah si lenong
Kemunculan televisi, diikuti internet, mengubah cara orang
menikmati tontonan. Perlahan, lenong mulai kehilangan penggemar. Acara hajatan
yang dulu ramai menanggap lenong, kini lebih memilih hiburan seperti organ tunggal
atau musik dangdut yang dianggap lebih modern dan sesuai dengan tren.
Saat ini, lenong betawi hanya sesekali tampil di acara
budaya atau festival kesenian Betawi. Tentu saja kita tidak ingin lenong
musnah. Sebab, kata Koentjaraningrat (dalam
Pengantar Antropologi [2009]), “Kebudayaan tradisional yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman akan terpinggirkan.”
Sepinya peminat membuat para seniman lenong harus berinovasi
agar tetap eksis, misalnya dengan membuat lenong bertema isu kontemporer, serta
mempersingkat durasi pementasan agar sesuai selera penonton zaman sekarang.
Upaya tersebut patut diapresiasi meski jalan ke depan tidak mudah. Itu memang
sudah harus dlakukan. “Kesenian tradisional seperti lenong perlu revitalisasi
agar bisa bertahan di tengah perubahan zaman,” kata Ratna Riantiarno, pendiri
Teater Koma kepada Tempo (2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar