SAYA berkesempatan menjadi juri penulisan feature di FL3SN Kota Bogor pada pekan pertama Juli 2025 ini. Menarik, banyak potensi yang baik. Ada ide-ide baru yang disampaikan peserta, ada konten-konten yang memikat. Wah, saya sampai terlonjak gembira.
Sayangnya, eksekusinya kebanyakan
belum bagus. Menurut saya, faktor yang membuat tulisan peserta kurang maksimal, ada pada sisi pelatih atau pembimbing maupun siswa sendiri.
Kebanyakan sekolah hanya mengandalkan guru bahasa Indonesia.
Padahal, tidak semua guru bahasa Indonesia menguasai penulisan jurnalistik,
terutama feature. Alhasil, tulisan yang disampaikan peserta tidak tereksekusi
dengan baik. Banyak arahan yang akhirnya membuat siswa hanya sekadar ikut
lomba, bukan menghasilkan karya yang baik.
Ada naskah yang tak memenuhi syarat
Dari naskah yang memenuhi kriteria,
banyak judul tidak jelas atau tidak sesuai isi. Ini menunjukkan kurangnya
pengarahan pembimbing. Misalnya, artikel berjudul:
"Wayang Bambu: Aset Kesenian
Khas Bogor Raya dalam Memerangi Globalisasi, Tak Banyak yang Tahu!"
Ternyata isinya hanya profil Ki
Dalang, tokoh wayang bambu. Seharusnya jika judulnya seluas itu, sumbernya
bukan hanya Ki Dalang, tetapi juga tokoh budaya lain atau pemegang kebijakan.
Ada juga judul yang tidak
menunjukkan isi sama sekali, misalnya:
- “Pena dan Kuas yang Terus Terjaga Mengikuti Cahaya
Petunjuk”
- “Merintis Moralitas dalam Bermasyarakat, Membangun
Generasi Berbudaya di Era Modern”
Judul pertama hanya cerita tanpa refensi. Adapun judul kedua yang cukup mentereng ternyaata berisi profil Ki Dalang.
Namun, ada judul yang tepat dan
sesuai isi, misalnya:
“Abah Wahyu Tak Lelah Menempa Nilai
Luhur Kujang”
Banyak tulisan feature yang dikirim
tidak memiliki lead atau teaser. Padahal, jika diibaratkan toko, lead itu
seperti etalase yang menarik orang untuk masuk. Lead juga memandu pembaca
memahami apa yang akan dibaca.
Contoh lead yang bagus:
“Mendengar kata kujang, apa yang
tersirat dalam benak kita? Betul, kujang merupakan senjata tradisional suku
Sunda, bahkan menjadi simbol Kota Bogor. Namun, kujang bukanlah sekadar simbol,
ada nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya. Nilai-nilai luhur itulah yang
dijaga berpuluh-puluh tahun oleh Abah Wahyu.”
Lead ini benar-benar mengantar
pembaca ke isi yang memuat profil pembuat kujang.
Gaya bertutur dan atribut sumber
Secara umum, bahasa tulisan relatif
sudah baik. Namun, ada juga yang keliru dalam penulisan paragraf, dan beberapa
naskah menggunakan bahasa terlalu formal sehingga tidak enak dibaca. Mungkin
pembimbing lupa, menulis feature itu menuliskan fakta dan data dengan gaya
kreatif dan bercerita.
Banyak peserta tidak memanfaatkan
atribut atau data fisik sumber. Akibatnya, penyebutan sumber hanya “ia/dia”
dengan nama, membuat pembaca jenuh. Contoh yang kurang baik:
“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk
mencoba membatik, sontak antusiasme saya langsung meningkat. Sembari memanaskan
malam (tinta membatik), Bu Dewi bercerita mengenai keluh kesahnya…”
Akan lebih baik jika atribut
ditambahkan, misalnya:
“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk
mencoba membatik, sontak antusiasme saya meningkat. Sembari memanaskan malam,
perempuan berhijab itu bercerita mengenai keluh kesahnya…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar