Dear redaktur, muat dong tulisan saya.
Tulisan saya sudah tiga minggu tidak dimuat-muat.
Jika tidak dimuat, saya tidak akan mengirim tulisan saya lagi ke koran Anda.
Itulah sebagian surel yang ditujukan kepada saya. Kebetulan saat itu saya mengurusi rubrik Opini. Saya hanya tersenyum membaca pesan dari surel itu. Tapi, saya melihat hal ini sebagai suatu yang wajar. Orang sudah mengirim sesuatu tentu ingin mengetahui bagaimana nasib dari kirimannya. Yang menjadi soal apakah para penulis ini sudah melakukan refleksi mengapa tulisannya sampai sekian lama tidak dimuat.
Saya banyak menerima tulisan, namun tentu saja saya tidak mungkin memuat semua tulisan. Yang harus diperhatikan adalah keterbatasan halaman. Dalam satu kali terbit, koran biasanya hanya sanggup menurunkan dua tulisan. Tentu saya juga harus menyeleksi tulisan berdasarkan aktualitas. Bila aktualitas sudah terpenuhi, kemudian kedalaman tulisan tersebut. Yang terakhir adalah bahasa tulisan tersebut, bila ada tulisan yang hampir sama namun cara bertutur dan logika kalimatnya lebih baik tentu itu yang akan saya pilih.
Sayangnya, tulisan mereka kebanyakan tidak fokus dalam membahas persoalan. Pengantar tulisannya membicarakan satu hal, pembahasannya membicarakan hal lain. Ini juga bukan hanya tulisan dari mahasiswa, melainkan juga dari penulis yang berlabel profesional. Wah, dengan sangat terpaksa tulisan seperti saya berikan ke sekretariat untuk ditindaklanjuti karena tidak mungkin memuatnya.
Namun, saya juga pernah terpaksa tidak memuat tulisan dari pakar. Bukan tidak bagus, melainkan karena bahasanya sangat jelek. Tulisan itu saya minta agar diperbaiki, dengan beberapa catatan mengenai bahasa dan struktur penulisannya. Namun, perbaikannya sangat lama hingga ketika tulisan kembali sudah kehilangan aktualitas.
Yang agak tidak menyenangkan adalah tulisan pesanan. Terkadang untuk membahas persoalan yang pelik, saya terpaksa meminta pakar untuk menulis. Ternyata tulisan yang datang struktur penulisannya kacau, bahasanya tidak bagus. Si penulis ketika dihubungi menyatakan tidak sanggup memperbaiki tulisannya sendiri. Terpaksa saya menulis ulang tulisan tersebut agar layak muat. Pasalnya, tulisan tersebut sudah disetujui rapat redaksi. Capek menerima tulisan seperti ini. Kalau saja tulisan tersebut bukan tulisan yang dipesan dan tidak terlalu mendukung headline, sudah saya masukkan kotak.
Saya membuka surel lagi, eh, ada pesan yang hampir sama: “Dear redaktur….!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar