Senin, 08 September 2014

Realitas Sosial versus Realitas Media

Ketika membaca koran Media Indonesia dan Sindo, yang tergeletak di meja, teman saya mengerutkan kening dan geleng-geleng kepala. Saya yakin, itu bukan karena pusing. Dia menghampiri saya dan mengecup kening. Wah, ngaco, imajinasi yang ngawur. Yang betul, teman saya menghampiri saya dan menanyakan kenapa dua koran itu memberitakan peristiwa gugatan kubu Prabowo terhadap hasil pilpres (realitas sosial) yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

Saya tersenyum, teman saya melongo.  Itu terjadi karena kedua koran ini mempunyai dua cara yang berbeda  dalam membingkai berita atau menghadirkan realitas media. Lebih jelasnya, menurut Ibnu Hamad (2004:19), media massa membentuk realitas (wacana—penulis) dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah  fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu—sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu urutan cerita yang mempunyai makna.  

Teman saya mengangguk-angguk, tapi saya yakin dia tidak mengerti.   Suatu realitas media tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas suatu peristiwa. Frame ini yang akan memberi pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Dengan begitu, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang  sama memiliki makna yang berbeda. Pasalnya, konstruksi realitas itu sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut.

Namun, bagaimana proses framing itu terjadi? Ternyata proses membangun framing dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Karena itulah, Scheufele menyebut framing sebagai teori efek media. Dari sisi media, dalam proses membangun framing,  wartawan atau media  dipengaruhi oleh variabel seperti ideologi, sikap, dan norma-norma profesi.  Lalu,  seleksi pembingkaian sebagai hasil dari faktor-faktor seperti tipe atau orientasi politik media. Faktor ketiga adalah sumber-sumber eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktor politik, kecenderungan kelompok, dan elite-elite lain. Pada faktor ketiga ini suatu berita diangkat wartawan sebagai cermin diri mereka dan merefleksikan citra mereka kepada audien (Scheufele, 1999). Dari faktor-faktor tersebut framing dari suatu media atas suatu peristiwa terkonstruksi.

Itulah yang disebut dengan realitas media. Framing dilakukan berdasarkan tujuan atau priming yang ingin dicapai. Misalnya, Jokowi blusukan hingga turun ke gorong-gorong. Itu adalah realitas sosial. Priming koran Media Indonesia, misalnya, Jokowi pemimpin yang mau turun ke bawah. Priming harian Sindo, misalnya, Jokowi pandai mencari muka. Maka, berita yang diturunkan Media Indonesia bisa saja Jokowi mau berpayah-payah turun ke gorong-gorong karena ingin sungguh-sungguh mengetahui persoalan secara langsung. Sindo bisa saja memberitakan bahwa Jokowi terpaksa turun ke gorong-gorong hanya agar terkesan sebagai pemimpn yang mau turun langsung. Bisa juga ditambahkan bahwa itu terlihat dari raut wajah Jokowi yang terkesan jijik.

Jadi, satu realitas sosial bisa menjadi realitas media yang berbeda-beda. Kendati begitu, media atau wartawan tetap memiliki kode etik untuk memberikan informasi secara benar. Musim pemilu dan pilpres ini memang merupakan ujian bagi keindependenan media. Yang nyatanya susah sekali untuk diperjuangkan. Teman saya mengangguk, saya ikut saja dah!


Tidak ada komentar: