Tampilkan postingan dengan label media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label media. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Juli 2025

Catatan Lomba Penulisan Feature FL3SN Bogor


SAYA berkesempatan menjadi juri penulisan feature di FL3SN Kota Bogor pada pekan pertama Juli 2025 ini. Menarik, banyak potensi yang baik.  Ada ide-ide baru yang disampaikan peserta, ada konten-konten yang memikat. Wah, saya sampai terlonjak gembira.

Sayangnya, eksekusinya kebanyakan belum bagus. Menurut saya, faktor yang membuat tulisan peserta kurang maksimal, ada pada sisi pelatih atau pembimbing maupun siswa sendiri. Yang saya soroti adalah pembimbing atau pelatih. 

Kebanyakan sekolah hanya mengandalkan guru bahasa Indonesia. Padahal, tidak semua guru bahasa Indonesia menguasai penulisan jurnalistik, terutama feature. Alhasil, tulisan yang disampaikan peserta tidak tereksekusi dengan baik. Banyak arahan yang akhirnya membuat siswa hanya sekadar ikut lomba, bukan menghasilkan karya yang baik.

 

Ada naskah yang tak memenuhi syarat

FLS3N Bogor

Pada perhelatan di SMA YPHB itu terkumpul 15 naskah, namun ada 5 naskah tidak memenuhi syarat. Dua naskah terlalu pendek, sementara tiga naskah tidak masuk kriteria penilaian lomba. Salah satu kriteria utama adalah penerapan kaidah jurnalistik. Namun, ada naskah yang hanya berisi tinjauan pustaka, atau hanya menguraikan persoalan dari perspektif sendiri tanpa satu pun sumber.

Dari naskah yang memenuhi kriteria, banyak judul tidak jelas atau tidak sesuai isi. Ini menunjukkan kurangnya pengarahan pembimbing. Misalnya, artikel berjudul:

"Wayang Bambu: Aset Kesenian Khas Bogor Raya dalam Memerangi Globalisasi, Tak Banyak yang Tahu!"

Ternyata isinya hanya profil Ki Dalang, tokoh wayang bambu. Seharusnya jika judulnya seluas itu, sumbernya bukan hanya Ki Dalang, tetapi juga tokoh budaya lain atau pemegang kebijakan.

Ada juga judul yang tidak menunjukkan isi sama sekali, misalnya:

  • “Pena dan Kuas yang Terus Terjaga Mengikuti Cahaya Petunjuk”
  • “Merintis Moralitas dalam Bermasyarakat, Membangun Generasi Berbudaya di Era Modern”

Judul pertama hanya cerita tanpa refensi. Adapun judul kedua yang cukup mentereng ternyaata berisi profil Ki Dalang.  

Namun, ada judul yang tepat dan sesuai isi, misalnya:

“Abah Wahyu Tak Lelah Menempa Nilai Luhur Kujang”

Banyak tulisan feature yang dikirim tidak memiliki lead atau teaser. Padahal, jika diibaratkan toko, lead itu seperti etalase yang menarik orang untuk masuk. Lead juga memandu pembaca memahami apa yang akan dibaca.

Contoh lead yang bagus:

“Mendengar kata kujang, apa yang tersirat dalam benak kita? Betul, kujang merupakan senjata tradisional suku Sunda, bahkan menjadi simbol Kota Bogor. Namun, kujang bukanlah sekadar simbol, ada nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya. Nilai-nilai luhur itulah yang dijaga berpuluh-puluh tahun oleh Abah Wahyu.”

Lead ini benar-benar mengantar pembaca ke isi yang memuat profil pembuat kujang.

 

Gaya bertutur dan atribut sumber

Secara umum, bahasa tulisan relatif sudah baik. Namun, ada juga yang keliru dalam penulisan paragraf, dan beberapa naskah menggunakan bahasa terlalu formal sehingga tidak enak dibaca. Mungkin pembimbing lupa, menulis feature itu menuliskan fakta dan data dengan gaya kreatif dan bercerita.

Banyak peserta tidak memanfaatkan atribut atau data fisik sumber. Akibatnya, penyebutan sumber hanya “ia/dia” dengan nama, membuat pembaca jenuh. Contoh yang kurang baik:

“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk mencoba membatik, sontak antusiasme saya langsung meningkat. Sembari memanaskan malam (tinta membatik), Bu Dewi bercerita mengenai keluh kesahnya…”

Akan lebih baik jika atribut ditambahkan, misalnya:

“Begitu Bu Dewi mempersilakan untuk mencoba membatik, sontak antusiasme saya meningkat. Sembari memanaskan malam, perempuan berhijab itu bercerita mengenai keluh kesahnya…”

Catatan ini menunjukkan bahwa banyak pembimbing belum paham apa itu penulisan feature dan jurnalistik. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, agar siswa mendapat pembinaan yang tepat. Barangkali sekolah perlu menjadikan jurnalistik sebagai ekstrakurikuler atau  sering mengadakan pelatihan jurnalistik. Salam.

Baca juga:


Jumat, 12 September 2014

Dear Redaktur, Muat dong Tulisan saya

Dear redaktur, muat dong tulisan saya.
 Tulisan saya sudah tiga minggu tidak dimuat-muat.
Jika tidak dimuat, saya tidak akan mengirim tulisan saya lagi ke koran Anda.

Itulah sebagian surel yang ditujukan kepada saya. Kebetulan saat itu saya mengurusi rubrik Opini.  Saya hanya tersenyum membaca pesan dari surel itu.  Tapi, saya melihat hal ini sebagai suatu yang wajar.  Orang sudah mengirim sesuatu tentu ingin mengetahui bagaimana nasib dari kirimannya.  Yang menjadi soal apakah para penulis ini sudah melakukan refleksi mengapa tulisannya sampai sekian lama tidak dimuat.

Saya banyak menerima tulisan, namun tentu saja saya tidak mungkin memuat semua tulisan. Yang harus diperhatikan adalah keterbatasan halaman. Dalam satu kali terbit, koran biasanya hanya sanggup menurunkan dua tulisan. Tentu saya juga harus menyeleksi tulisan berdasarkan aktualitas. Bila aktualitas sudah terpenuhi, kemudian kedalaman tulisan tersebut.    Yang terakhir adalah bahasa tulisan tersebut, bila ada tulisan yang hampir sama namun cara bertutur dan logika kalimatnya lebih baik tentu itu yang akan saya pilih.

Selama saya menggawangi rubrik Opini, yang paling sering saya terima adalah tulisan dari mahasiswa. Dari kelompok-kelompok studi yang beraneka ragam namanya. Namun, yang saya sesalkan, agaknya mereka itu malas mengendapkan hasil diskusi dan menuliskan secara individu. Alhasil, saya pernah menerima beberapa tulisan yang hampir sama baik bahasa maupun sudut pandangnya terhadap persoalan yang dibahas. Padahal, penulis-penulis tersebut dari kelompok-kelompok studi yang berbeda.  Yang lebih parah, tulisan mereka itu sepertinya hanya menyalin-tempelkan dari tulisan temannya. Hanya diubah sedikit di pengantarnya.  Juga ada tulisan yang pengantarnya bagus, ternyata pembahasannya sama dengan  tulisan yang pernah dimuat beberapa bulan sebelumnya.

Sayangnya, tulisan mereka kebanyakan tidak fokus dalam membahas persoalan.  Pengantar tulisannya membicarakan satu hal, pembahasannya membicarakan hal lain.  Ini juga bukan hanya tulisan  dari mahasiswa, melainkan juga dari penulis yang berlabel profesional. Wah, dengan sangat terpaksa tulisan seperti saya berikan ke sekretariat untuk ditindaklanjuti karena tidak mungkin memuatnya.

Namun, saya juga pernah terpaksa tidak memuat tulisan dari pakar. Bukan tidak bagus, melainkan karena bahasanya sangat jelek. Tulisan itu saya minta agar diperbaiki, dengan beberapa catatan mengenai bahasa dan struktur penulisannya. Namun, perbaikannya sangat lama hingga ketika tulisan kembali sudah kehilangan aktualitas.

Yang agak tidak menyenangkan adalah tulisan pesanan. Terkadang untuk membahas persoalan yang pelik, saya terpaksa meminta pakar untuk menulis. Ternyata tulisan yang datang struktur penulisannya kacau, bahasanya tidak bagus. Si penulis ketika dihubungi menyatakan tidak sanggup memperbaiki tulisannya sendiri. Terpaksa saya menulis ulang tulisan tersebut agar layak muat. Pasalnya, tulisan tersebut sudah disetujui rapat redaksi.  Capek menerima tulisan seperti ini. Kalau saja tulisan tersebut bukan tulisan yang dipesan dan tidak terlalu mendukung headline, sudah saya masukkan kotak.

Saya membuka surel lagi, eh, ada pesan yang hampir sama: “Dear redaktur….!”

Senin, 08 September 2014

Realitas Sosial versus Realitas Media

Ketika membaca koran Media Indonesia dan Sindo, yang tergeletak di meja, teman saya mengerutkan kening dan geleng-geleng kepala. Saya yakin, itu bukan karena pusing. Dia menghampiri saya dan mengecup kening. Wah, ngaco, imajinasi yang ngawur. Yang betul, teman saya menghampiri saya dan menanyakan kenapa dua koran itu memberitakan peristiwa gugatan kubu Prabowo terhadap hasil pilpres (realitas sosial) yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

Saya tersenyum, teman saya melongo.  Itu terjadi karena kedua koran ini mempunyai dua cara yang berbeda  dalam membingkai berita atau menghadirkan realitas media. Lebih jelasnya, menurut Ibnu Hamad (2004:19), media massa membentuk realitas (wacana—penulis) dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah  fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu—sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu urutan cerita yang mempunyai makna.  

Teman saya mengangguk-angguk, tapi saya yakin dia tidak mengerti.   Suatu realitas media tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas suatu peristiwa. Frame ini yang akan memberi pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Dengan begitu, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang  sama memiliki makna yang berbeda. Pasalnya, konstruksi realitas itu sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut.

Namun, bagaimana proses framing itu terjadi? Ternyata proses membangun framing dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Karena itulah, Scheufele menyebut framing sebagai teori efek media. Dari sisi media, dalam proses membangun framing,  wartawan atau media  dipengaruhi oleh variabel seperti ideologi, sikap, dan norma-norma profesi.  Lalu,  seleksi pembingkaian sebagai hasil dari faktor-faktor seperti tipe atau orientasi politik media. Faktor ketiga adalah sumber-sumber eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktor politik, kecenderungan kelompok, dan elite-elite lain. Pada faktor ketiga ini suatu berita diangkat wartawan sebagai cermin diri mereka dan merefleksikan citra mereka kepada audien (Scheufele, 1999). Dari faktor-faktor tersebut framing dari suatu media atas suatu peristiwa terkonstruksi.

Itulah yang disebut dengan realitas media. Framing dilakukan berdasarkan tujuan atau priming yang ingin dicapai. Misalnya, Jokowi blusukan hingga turun ke gorong-gorong. Itu adalah realitas sosial. Priming koran Media Indonesia, misalnya, Jokowi pemimpin yang mau turun ke bawah. Priming harian Sindo, misalnya, Jokowi pandai mencari muka. Maka, berita yang diturunkan Media Indonesia bisa saja Jokowi mau berpayah-payah turun ke gorong-gorong karena ingin sungguh-sungguh mengetahui persoalan secara langsung. Sindo bisa saja memberitakan bahwa Jokowi terpaksa turun ke gorong-gorong hanya agar terkesan sebagai pemimpn yang mau turun langsung. Bisa juga ditambahkan bahwa itu terlihat dari raut wajah Jokowi yang terkesan jijik.

Jadi, satu realitas sosial bisa menjadi realitas media yang berbeda-beda. Kendati begitu, media atau wartawan tetap memiliki kode etik untuk memberikan informasi secara benar. Musim pemilu dan pilpres ini memang merupakan ujian bagi keindependenan media. Yang nyatanya susah sekali untuk diperjuangkan. Teman saya mengangguk, saya ikut saja dah!