Selasa, 01 Juli 2025

Bertemulah Biar Bahagia

 APA yang membahagiakan saya? Jawabannya sederhana: bertemu kawan lama. Seperti kata Charles Dickens, “The pain of parting is nothing to the joy of meeting again.” Sakitnya berpisah tak seberapa dibandingkan bahagianya saat bertemu kembali. Itulah yang saya rasakan pada 1 Muharam 1447 H lalu, ketika akhirnya saya bisa mengunjungi Kembang Sepatu, kawan lama yang sedang berpameran di Balai Budaya. Langkah saya penuh antusiasme, ada rindu karena lama tak bersua.

Begitu bertemu, kami langsung tertawa dan mengobrol tanpa jeda. Kami bertanya kabar, berbagi cerita tentang perjalanan hidup yang penuh warna, saling menertawakan kenangan masa lalu, dan tak lupa berfoto bersama untuk mengabadikan kebahagiaan yang tak ternilai itu. Suasana hangat itu semakin lengkap dengan diskusi singkat tentang seni dan mimpi-mimpi yang masih ingin kami wujudkan.

Bahagia itu ternyata sangat sederhana. Hanya dengan duduk bersama, mendengar suara lama yang dirindukan, melihat senyum yang pernah akrab, semua lelah dan kejenuhan seolah sirna. Kebahagiaan seperti ini mengajarkan saya bahwa kita sering kali keliru mencari kebahagiaan di tempat yang jauh atau pada hal-hal yang besar. Padahal, kebahagiaan sejati hadir dalam momen kecil yang tulus, dalam kebersamaan yang diwarnai cinta dan persahabatan.

Kebahagiaan itu sederhana, karena hanya butuh kehadiran dan ketulusan untuk bisa saling menguatkan, meski waktu pernah memisahkan. Pertemuan kembali ini menjadi pengingat betapa berharganya sahabat yang setia, dan betapa rindu yang lama terpendam justru membuat pertemuan itu semakin indah. Terima kasih untuk semua teman yang sudah membahagiakan.  Salam.

Rabu, 17 Januari 2018

Walah, Malah Saya yang Kurang Ajar

WAH, sudah lama  sekali saya tidak melongok blog saya sendiri. Terlalu. Banyak perkembangan yang terjadi. Saya sekarang mengajar di perguruan tinggi swasta di Bekasi dan Jakarta, sambil tetap bekerja di media.

Perihal mengajar, ini memang sudah saya putuskan dengan matang sejak saya merasa jenuh mengamen tulisan dari teve ke teve. Mengajar paling tidak membuat saya berhadapan dengan teman-teman muda yang memiliki semangat dan kreativitas yang tinggi. Siapa tahu bisa ketularan. Mengajar membuat saya dapat berbagi ilmu yang saya punya. Mengajar paling tidak membuat saya turut mempersiapkan masa depan generasi bangsa.

Yang menjadi persoalan, ternyata ada saja teman muda ini yang tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Alhasil, nilai yang dia dapat tidak bagus. Saya mau cerita sedikit perihal yang satu ini.

Ada teman muda saya yang mendapat nilai jelek dan terancam tidak lulus. Saya selalu merasa prihatin ketika ada peserta kuliah saya yang mendapat nilai tidak bagus. Karena itu saya selalu memberi kesempatan untuk memperbaikinya. Saya hubungi teman saya itu.

"Bro, nilai kamu itu jelek. Bisa enggak lulus," ujar saya lewat ketikan di WA.
"Oya, Pak. Gimana cara memperbaikinya ya Pak," jawab dia.
"Kamu temui saya besok di kampus."
"Pak, nomor rekeningnya berapa...."

Saya kesal bukan main dengan jawaban terakhirnya. Pengin rasanya menjitak kepala teman saya itu. Pengin rasanya saya banting ponsel saya, yang masih kredit, untuk melampiaskan rasa kesal yang amat sangat. Kurang ajar sekali,  anak ini coba-coba menyuap. Tapi, setelah saya pikir. Barangkali logika berpikir anak ini begini: saya sudah memberi ilmu, dia memberi uang. Adapun uang SKS yang dia bayar, itu kan untuk membayar status mahasiswanya.

Akhirnya setelah menahan diri dan menstabilkan emosi cukup lama, saya memberi tahu dia untuk menemui saya di kantin kampus. Esoknya, dia datang dengan ceria, saya yakin sudah menyiapkan uang yang banyak. Rezeki nomplok.

Seusai pertemuan, saya memutuskan untuk berhenti dari profesi yang mulia itu. Saya tidak pantas menjadi guru atau dosen. Itu terjadi kalau saya menerima suap. Nyatanya, saya nasihati dia dengan agak emosional.  Dia hanya menunduk dan meminta maaf berkali-kali. Sebagai tugas untuk memperbaiki nilai ujiannya, saya memberikan lima soal dan harus dijawab dengan benar. Saya yakin dia akan kesulitan menjawab soal itu.

Benar saja dia berkutat dengan soal itu cukup lama. Dia mulai mengerjakan soal jam sepuluh pagi, hingga jam tiga sore dia masih memelototi soal itu  di perpustakaan. Makanya jangan kurang ajar, akibatnya kesusahan menjawab soal kan. Bagaimana tidak susah, soal yang saya berikan  materinya memang belum pernah saya ajar.  Walah, malah jadi saya yang kurang ajar.        

Sabtu, 20 September 2014

Anakku Harus Memiliki Buku di Ultahnya

Ada seorang teman yang ingin sekali anaknya memiliki buku sendiri.  Saya menyarankan agar dia membelikan saja barang beberapa buah di toko buku. Dia memelototkan matanya  kepada saya. Saya tersenyum, karena sejak awal sebenarnya saya tahu yang dimaksud teman saya adalah buku yang ditulis sendiri oleh anaknya dan dicetak. Saya tanya kepada teman saya itu, apakah anaknya senang membaca? Dia menggeleng. Apakah anaknya senang menceritakan pengalamannya? Dia menggeleng. 

Dari satu sisi ini jelas merepotkan.  Pasalnya, menulis adalah proses reproduksi dari apa yang dia baca. Dari membaca si anak mendapatkan gambaran bagaimana bertutur dengan bahasa tulis. Merasakan nikmatnya dibuai dengan permainan kata-kata yang tertulis dalam buku, merasakan betapa teks yang dibacanya mampu membangkitkan emosinya. Teks yang dibacanya memberi pengalaman baru, imajinasinya ikut berkembang, mengembara dalam dunia fiksi yang dibangun penulis.

Menulis memang proses reproduksi dari apa yang dibaca. Namun tentu saja merupakan reproduksi kreatif.  Bacaan memberi stimulus untuk membuat tulisan baru. Makanya, pakar sastra sering bilang bahwa sebuah karya tidak hadir dari kekosongan. Itu karena sebuah karya  dapat hadir karena dipengaruhi oleh karya lain.


Jadi bagaimana?  Tanya teman saya itu. Saya meminta  teman saya itu mulai mengajak anaknya untuk rajin membaca. Siapa tahu tanpa disuruh, keinginan si anak  dapat tumbuh dengan sendirinya. Menulis sejatinya hanya merupakan bonus dari kegemaran membaca.  Yang pasti, membaca akan memperluas wawasan anak dan membuat anak mampu berpikir logis.

Namun, mengajak anak membaca susah, tidak semudah membalikkan telapak tangan? Ya usaha dong. Berikan buku yang sesuai dengan minatnya. Kalau si anak senang sepak bola, berilah buku yang bertema atau berkait dengan sepak bola. Insya Allah, si anak akan suka. Kalau tidak bisa juga, ada satu jalan keluar. Tulislah cerita anak, bisa ditulis oleh orang tua, bisa juga kolaborasi dengan sang anak. Teman saya tidak setuju dengan usul saya. Sebab, akan ketahuan bahwa buku itu ditulis oleh orang dewasa.  Ah, gampang itu. Berikan buku tersebut ke seorang penyunting, bahasanya bisa diubah menjadi bahasa anak-anak.

Teman saya itu tetap tidak setuju. Dia beranggapan bahasa anak yang dibuat penyunting tentu akan menghasilkan bahasa anak yang bagus dan baku. Padahal, dia menginginkan buku sesuai dengan cara anaknya berbahasa.  Saya hanya diam. Dia meminta saya membantunya, karena ini bisa menjadi kenang-kenangan yang berharga bagi anaknya kelak bila sudah dewasa. Tepat di hari ulang tahun anaknya yang keenam, dia ingin buku yang ditulis anaknya sudah terbit. Dia ingin memberikan buku ini sebagai suvenir kepada teman-teman anaknya.


Dia mendesak saya, dia yakin saya bisa membantunya. “Anda kan penyunting buku?” kata teman saya.  Saya hanya tertawa:  saya tidak pandai menyunting buku, saya hanya pandai menyunting wanita. Saya tengok kanan-kiri, untung tak ada istri saya.

Jumat, 12 September 2014

Dear Redaktur, Muat dong Tulisan saya

Dear redaktur, muat dong tulisan saya.
 Tulisan saya sudah tiga minggu tidak dimuat-muat.
Jika tidak dimuat, saya tidak akan mengirim tulisan saya lagi ke koran Anda.

Itulah sebagian surel yang ditujukan kepada saya. Kebetulan saat itu saya mengurusi rubrik Opini.  Saya hanya tersenyum membaca pesan dari surel itu.  Tapi, saya melihat hal ini sebagai suatu yang wajar.  Orang sudah mengirim sesuatu tentu ingin mengetahui bagaimana nasib dari kirimannya.  Yang menjadi soal apakah para penulis ini sudah melakukan refleksi mengapa tulisannya sampai sekian lama tidak dimuat.

Saya banyak menerima tulisan, namun tentu saja saya tidak mungkin memuat semua tulisan. Yang harus diperhatikan adalah keterbatasan halaman. Dalam satu kali terbit, koran biasanya hanya sanggup menurunkan dua tulisan. Tentu saya juga harus menyeleksi tulisan berdasarkan aktualitas. Bila aktualitas sudah terpenuhi, kemudian kedalaman tulisan tersebut.    Yang terakhir adalah bahasa tulisan tersebut, bila ada tulisan yang hampir sama namun cara bertutur dan logika kalimatnya lebih baik tentu itu yang akan saya pilih.

Selama saya menggawangi rubrik Opini, yang paling sering saya terima adalah tulisan dari mahasiswa. Dari kelompok-kelompok studi yang beraneka ragam namanya. Namun, yang saya sesalkan, agaknya mereka itu malas mengendapkan hasil diskusi dan menuliskan secara individu. Alhasil, saya pernah menerima beberapa tulisan yang hampir sama baik bahasa maupun sudut pandangnya terhadap persoalan yang dibahas. Padahal, penulis-penulis tersebut dari kelompok-kelompok studi yang berbeda.  Yang lebih parah, tulisan mereka itu sepertinya hanya menyalin-tempelkan dari tulisan temannya. Hanya diubah sedikit di pengantarnya.  Juga ada tulisan yang pengantarnya bagus, ternyata pembahasannya sama dengan  tulisan yang pernah dimuat beberapa bulan sebelumnya.

Sayangnya, tulisan mereka kebanyakan tidak fokus dalam membahas persoalan.  Pengantar tulisannya membicarakan satu hal, pembahasannya membicarakan hal lain.  Ini juga bukan hanya tulisan  dari mahasiswa, melainkan juga dari penulis yang berlabel profesional. Wah, dengan sangat terpaksa tulisan seperti saya berikan ke sekretariat untuk ditindaklanjuti karena tidak mungkin memuatnya.

Namun, saya juga pernah terpaksa tidak memuat tulisan dari pakar. Bukan tidak bagus, melainkan karena bahasanya sangat jelek. Tulisan itu saya minta agar diperbaiki, dengan beberapa catatan mengenai bahasa dan struktur penulisannya. Namun, perbaikannya sangat lama hingga ketika tulisan kembali sudah kehilangan aktualitas.

Yang agak tidak menyenangkan adalah tulisan pesanan. Terkadang untuk membahas persoalan yang pelik, saya terpaksa meminta pakar untuk menulis. Ternyata tulisan yang datang struktur penulisannya kacau, bahasanya tidak bagus. Si penulis ketika dihubungi menyatakan tidak sanggup memperbaiki tulisannya sendiri. Terpaksa saya menulis ulang tulisan tersebut agar layak muat. Pasalnya, tulisan tersebut sudah disetujui rapat redaksi.  Capek menerima tulisan seperti ini. Kalau saja tulisan tersebut bukan tulisan yang dipesan dan tidak terlalu mendukung headline, sudah saya masukkan kotak.

Saya membuka surel lagi, eh, ada pesan yang hampir sama: “Dear redaktur….!”

Senin, 08 September 2014

Realitas Sosial versus Realitas Media

Ketika membaca koran Media Indonesia dan Sindo, yang tergeletak di meja, teman saya mengerutkan kening dan geleng-geleng kepala. Saya yakin, itu bukan karena pusing. Dia menghampiri saya dan mengecup kening. Wah, ngaco, imajinasi yang ngawur. Yang betul, teman saya menghampiri saya dan menanyakan kenapa dua koran itu memberitakan peristiwa gugatan kubu Prabowo terhadap hasil pilpres (realitas sosial) yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

Saya tersenyum, teman saya melongo.  Itu terjadi karena kedua koran ini mempunyai dua cara yang berbeda  dalam membingkai berita atau menghadirkan realitas media. Lebih jelasnya, menurut Ibnu Hamad (2004:19), media massa membentuk realitas (wacana—penulis) dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah  fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu—sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu urutan cerita yang mempunyai makna.  

Teman saya mengangguk-angguk, tapi saya yakin dia tidak mengerti.   Suatu realitas media tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas suatu peristiwa. Frame ini yang akan memberi pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Dengan begitu, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang  sama memiliki makna yang berbeda. Pasalnya, konstruksi realitas itu sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut.

Namun, bagaimana proses framing itu terjadi? Ternyata proses membangun framing dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Karena itulah, Scheufele menyebut framing sebagai teori efek media. Dari sisi media, dalam proses membangun framing,  wartawan atau media  dipengaruhi oleh variabel seperti ideologi, sikap, dan norma-norma profesi.  Lalu,  seleksi pembingkaian sebagai hasil dari faktor-faktor seperti tipe atau orientasi politik media. Faktor ketiga adalah sumber-sumber eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktor politik, kecenderungan kelompok, dan elite-elite lain. Pada faktor ketiga ini suatu berita diangkat wartawan sebagai cermin diri mereka dan merefleksikan citra mereka kepada audien (Scheufele, 1999). Dari faktor-faktor tersebut framing dari suatu media atas suatu peristiwa terkonstruksi.

Itulah yang disebut dengan realitas media. Framing dilakukan berdasarkan tujuan atau priming yang ingin dicapai. Misalnya, Jokowi blusukan hingga turun ke gorong-gorong. Itu adalah realitas sosial. Priming koran Media Indonesia, misalnya, Jokowi pemimpin yang mau turun ke bawah. Priming harian Sindo, misalnya, Jokowi pandai mencari muka. Maka, berita yang diturunkan Media Indonesia bisa saja Jokowi mau berpayah-payah turun ke gorong-gorong karena ingin sungguh-sungguh mengetahui persoalan secara langsung. Sindo bisa saja memberitakan bahwa Jokowi terpaksa turun ke gorong-gorong hanya agar terkesan sebagai pemimpn yang mau turun langsung. Bisa juga ditambahkan bahwa itu terlihat dari raut wajah Jokowi yang terkesan jijik.

Jadi, satu realitas sosial bisa menjadi realitas media yang berbeda-beda. Kendati begitu, media atau wartawan tetap memiliki kode etik untuk memberikan informasi secara benar. Musim pemilu dan pilpres ini memang merupakan ujian bagi keindependenan media. Yang nyatanya susah sekali untuk diperjuangkan. Teman saya mengangguk, saya ikut saja dah!


Jumat, 06 Juni 2014

Tidak Konsisten: Harusnya Penghobi bukan Pehobi?

Kita acap mengatakan tidak konsisten ketika ada sesuatu yang menyimpang dari aturan formal yang kita pahami. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Orang langsung mengatakan tidak konsisten ketika menemukan bentuk yang menyimpang dari aturan tata bahasa.

Itu pula yang terjadi dalam sebuah diskusi internal mengenai bahasa Indonesia di kantor saya. Seorang teman dengan penuh semangat mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak konsisten. Apa pasal? Teman saya ini melihat, bila pe- bertemu kata yang diawali konsonan /h/ menjadi peng- mengapa ketika bertemu dengan kata  hobi menjadi pehobi bukan penghobi sebagaimana pe+hubung menjadi penghubung, pe+hujat menjadi penghujat, pe+hasut menjadi penghasut, pe+hafal menjadi penghafal, pe+hormat menjadi penghormat, dan seterusnya.

Sebelum menjawab rasa ingin tahu teman saya, ada baiknya kita pahami dulu bahwa tata bahasa sejatinya hanya menampung apa yang ada dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dibuatnya berdasarkan data yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, ketika menemukan suatu bentuk yang tidak sesuai dengan aturan yang ada jangan terburu-buru mengatakan bahwa itu tidak konsisten. Tetapi, kita harus memahami bahwa itulah yang terjadi dalam realitas kebahasaan kita. Kita perlu menguji dulu mengapa bentuk itu terjadi. Jangan sampai kita mengatakan suatu bentuk tidak konsisten hanya karena ketergesaan.

Kembali ke persoalan kita. Karena tata bahasa hanya menampung realitas bahasa yang ada, artinya pehobi merupakan bentuk yang memang ada dan hidup dalam masyarakat.   Bila mengacu pada argumentasi yang diajukan teman saya, sudah pasti bentuk ini tidak konsisten. Tunggu dulu. Saya masih ingat, ada relasi antara me- dengan pem- dan ber- dengan pe-.  Mari kita buktikan: kata menulis berelasi dengan penulis, membeli berelasi dengan pembeli, menubruk berelasi dengan penubruk, bertani berelasi dengan petani, bertualang berelasi dengan petualang. Akan halnya pehobi, tampaknya kata ini diturunkan dari kata berhobi. Kenapa berhobi? Karena tidak ada bentuk menghobi  sebagaimana tidak ada bentuk menani. Jadi, pehobi adalah bentuk yang benar dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Masih mau mengatakan bahwa itu tidak konsisten.

Agar teman saya tidak sedikit-sedikit mengatakan tidak konsisten, kita lihat ada juga bentuk lain yang bisa dianggap tidak konsisten. Mengapa standar+isasi menjadi standardisasi bukan standarisasi, efektif+itas menjadi efektivitas buka efektifitas, aktif+itas menjadi aktivitas bukan aktifitas. Itu terjadi karena yang diserap dari kata-kata tersebut bukan kata dasarnya. Standar merupakan serapan dari standard, standardisasi merupakan serapan dari standardization bukannya  standar+isasi. Efektif merupakan serapan dari effective, efektivitas merupakan serapan dari effectivity bukannya efektif+itas. Adapun aktif merupakan serapan dari active, aktivitas merupakan serapan dari activity bukannya aktif+itas.

Semoga saja dengan penjelasannya ini teman saya jadi tidak mudah untuk mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten. Iya tidak man. 

Minggu, 01 Agustus 2010

Opera Anak: Betapa Susahnya Meng-creat Anak-Anak



Ketika diminta menjadi kreatif dan penulis skrip untuk Opera Anak Endong di Trans7, saya dan teman-teman sudah membayangkan, akan banyak kesulitan yang akan dihadapi.

Pasalnya, kami harus menyuguhkan acara komedi anak. Kami harus membuat anak-anak bisa melucu sepanjang acara itu. Kami sudah membayangkan, akan sangat sulit meminta anak-anak untuk mematuhi permintaan skrip. Tapi, satu hal yang pasti, kami sangat menyadari satu sifat dasar anak-anak, yaitu bermain.

Dengan berpatokan pada karakter dasar anak-anak yang senang bermain, kami mengatur strategi menghadapi anak-anak agar bisa mencapai sesuai dengan permintaan skrip. Mereka mematuhi apa yang tertulis di skrip dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa atau terbebani. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain bersama anak-anak ini sepanjang latihan blocking dan reading.

Kami bermain bersama anak-anak itu sepanjang latihan sebelum syuting. Kami perlu mengakrab diri dengan anak-anak, karena dengan begitu emosi kami akan menyatu. Sebab, menurut hasil diskusi kami, anak-anak cenderung menarik diri terhadap orang asing atau orang-orang yang tidak begitu dikenalnya. Jadi, kami tidak mungkin bisa meminta anak-anak melakonkan suatu peran atau meminta anak berakting sesuai dengan karakternya kalau tidak dekat secara emosional dengan anak-anak ini.


Tapi, satu persoalan lagi menghinggapi kami. Ternyata kemampuan anak-anak yang mendukung Opera Anak berbeda-beda. Ada yang sudah mahir memahami skrip, tapi ada yang tidak terlalu paham dan masih bingung bahkan cara membaca dialognya belum baik. Sudah begitu usianya tidak seragam. Ada yang masih belum sekolah, ada yang masih TK, ada yang SD, tapi juga ada yang SMP.

Untunglah masih ada yang bisa menjadi andalan dari kelompok anak-anak ini, sehingga dia bisa menjadi leader untuk merajut benang merah cerita. Selain itu, untuk anak-anak yang balita benar-benar, sekitar 3-4 tahun, kami menyiasati dengan memberi dialog pendek dan berulang-ulang dalam skrip. Misalnya, “Aku centeng, aku galak”. Dialog ini yang selalu diucapkan di setiap kemunculannya.

O, iya Opera Anak menggunakan skrip penuh, bukan treatment. Jadi, kelucuan yang timbul memang tertulis lengkap dengan dialognya, meskipun masih terbuka peluang improvisasi—seperti karena lupa skrip, bingung, atau kesal. Yang pasti, kami memang meng-creat semua anak-anak seperti sedang bermain, sehingga bila lupa atau kesal mereka masih bisa melanjutkan cerita.

Sebenarnya masih banyak yang harus diungkapkan, tapi harus syuting lagi nih. Opera anak! Endoooo....ng!