Kamis, 12 Juni 2008

Jangan Coba-Coba Melawak


Saya sudah sekitar sepuluh tahun lebih menulis naskah komedi untuk televisi. Sudah lama ya. Seperti para resi dan empu zaman dulu, ketika merasa ilmu sudah dikuasai dengan baik dan sudah berpengalaman maka harus bersiap-siap menyebarkan ilmu. Maaf, kalau saya terkesan agak sombong.

Nah, karena berpinsip yang sama dengan para empu, saya merasa kini sudah saatnya menulis buku perihal komedi. Semua yang namanya komedi mulai dari lawak hingga sinetron pernah saya tulis. Lika-liku menulis komedi pernah saya alami.

Kini saya ingin menyoroti dunia lawak kita. Saya sering melihat, para peserta lomba lawak yang begitu semangat ketika akan lomba. Swear, saya gembira melihatnya. Sejatinya, semangat dan keyakinan adalah permulaan untuk kemenangan. Tapi, apa boleh buat, yang saya lihat kemudian sang peserta itu kemudian tertunduk lesu bahkan menangis ketika usai beraksi di depan juri. Apa pasal? Ternyata lawakannya tidak “dibeli” para juri dan audiens yang melihat.

Di sini memang ada kesalahan. Semangat yang begitu besar ternyata tidak dibarengi oleh pengetahuan bagaimana melawak itu sebenarnya. Bermodal pengalaman mengkreatifi sebuah grup lawak dan menulisi naskah para pelawak, saya ingin memberikan beberapa trik dan tip melawak dalam buku yang sedang saya tulis. Mulai dari persiapan, cara membuat joke dan naskah hingga pemampilan di panggung.

Untuk sementara buku saya ini berjudul: Jangan Coba-Coba Melawak. Pasalnya, kebanyakan kita yang sudah bisa melucu di depan teman-temannya merasa sudah bisa melawak. Memang, sebab melucu itu gampang, melawak belum tentu! Tunggu ya bukunya!

Jumat, 09 Mei 2008

Bentuk Kekecualian



Yang menggelisahkan saya akhir-akhir ini adalah soal penyeragaman dalam media massa kita. Bila penyeragaman itu hanya untuk mengkonsistenkan dalam menerjemahkan akta asing, saya malah salut. Misalnya saja semua kata dalam bahasa Inggris yang berakhiran -ity diterjemahkan dengan –tas karena mengacu pada bentuk sebelumnya seprti university menjadi universitas, commodity menjadi komoditas, perubahan selebrity menjadi selebritas bisa diterima. Tapi, mengapa kita harus menyeragamkan semua kata yang berhuruf awal k, p, t, s, yang diberi imbuhan me-. Padahal, tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang seragam atau konsisten dengan aturan tata bahasanya sendiri. Mengapa mereka tidak menyikapi bentuk yang berbeda itu sebagai sebuah bentuk kekecualian, seperti dalam bahasa Inggris. Jadi, bentuk mempesona biarlah seperti itu tidak perlu menjadi memesona, mempunyai tidak perlu menjadi memunyai.

Menurut hemat saya, bentuk mempesona atau mempunyai memiliki alasan sendiri secara etimologi. Mengapa mempunyai tidak menjadi memunyai karena kata punya sebenarnya dari kata empunya sehingga tidak mungkin menjadi memunyai. Selain itu, secara fonologis pun mempunyai lebih enak didengar dan mudah diucapkan ketimbang memunyai. Begitu pun dengan kata mempesona pasti memiliki alasan etimologis dan fonologis sendiri.

Jadi, kalau kita menemukan suatu bentuk dalam bahasa Indonesia yang tidak tidak sesuai dengan bentuk-bentuk lain, jangan langsung mengambil kesimpulan bahwa bentuk itu inkonsisten. Anggap saja itu merupakan bentuk kekecualian. Ingat, bentuk-bentuk kekecualian seperti ini sebenarnya merupakan kekayaan bahasa Indonesia yang harus dijaga bukan malah dihilangkan atas nama ketaatasasan.

O ya, perihal persoalan seperti itu saya bahas pada salah satu bagian dari buku saya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik (Andi Publisher, 2008).

Rabu, 19 Maret 2008

Pelatih Lawak




Pelatih lawak, julukan ini sempat melekati kami bertiga: saya, Indro, dan Bayu. Ya, karena kami bertiga yang rajin mencarikan joke dan melatih bagaimana mereka mengucapkan dan melontarkan agar bisa mengundang tawa. Kami bertiga ketika itu bekerja tanpa pamrih.

Ketika RCTI mengadakan lomba Humor ala Mahasiswa tahun 1997 Kami mengirim tiga tim. Tim pria adalah grup Kelakar dan Cagur. Adapun kelompok lawak wanita adalah Gandess. Yang pertama, Kelakar sesungguhnya kelompok lawak senior kami. Kemudian Cagur yang lebih junior. Gandess adalah kelompok lawak wanita. Waktu itu saya dan teman-teman yang berinisiatif membentuk kelompok lawak wanita. Pasalnya, kelompok lawak lebih banyak didominasi kelompok lawak pria.

Kami berlatih sore hingga malam hari. Latihan sesungguhnya lebih menekankan bagaimana sebuah joke bisa dimainkan dengan apik dengan mempertimbangkan timing. Nah, pada kelompok wanita, kami memberikan perhatian ekstra. Mulai dari cara mengucapkan joke hingga gestur ataupun gerakan tubuh kami latih secara selangkah demi selangkah.

Hasilnya, Cagur yang memang sudah bisa membuat joke sendiri menyabet juara dua, Gandess mendapat juara harapan dua. Adapun Kelakar tidak mendapat nomor kendati termasuk finalis.

Cagur—beranggotakan Denny, Narji, dan Sapto, yang dalam perjalanan Sapto diganti Bedu, dan Bedu lalu diganti Wendy—kemudian rajin berpentas di mana-mana dibayar ataupun hanya menerima ucapan terimakasih. Akhirnya Cagur memetik buah di TPI.

Gandess, yang anggotanya Wiwi, Hesti, dan Putri, akhirnya bubar karena kesibukan kuliah personelnya. Kendati pernah berusaha bangkit, tapi tidak pernah terlaksana karena sukar mengatur waktunya—sudah bekerja semua. Sayang sekali ya. Adapun Kelakar, personelnya kini lebih banyak bergiat sebagai kreatif berbagai program di berbagai stasiun teve.

Menjadi Kreatif Cagur



Kekecewaan Lenong Alternatif distop begitu saja sesungguhnya amat menurunkan mental kami—kelompok Lenong Alternatif. Apalagi kemudian ada rumor, setahun setelah itu sesungguhnya Lenong alternatif akan ditayangkan kembali, tapi terjegal karena jam tayangnya akan dipakai oleh teman-teman saya dalam kelompok Cagur. Memang setelah itu ada program Chating—Canda itu Penting—di TPI.

Kendati hanya rumor, saya sempat agak kecewa, tapi saya malas untuk mencari tahu kebenarannya. Semoga saja itu tidak benar adanya. Sejatinya anak-anak kelompok Cagur ini adalah mitra belajar saya. Mereka belajar melucu melalui Lenong Alternatif yang naskahnya saya tulis, kendati saya bisa bilang mereka memang punya kemampuan melucu juga. Ya, beberapa leluconnnya bisa menjadi batu loncatan untuk membuat joke berikutnya. Ketika mereka mengikuti lomba Humor ala Mahasiswa di RCTI tahun 1997 sehingga keluar sebagai juara kedua, pun saya dan dua teman lainnya—Indro dan Bayu—yang mengkreatifi. Ketika ikut lomba formasi Cagur adalah Narji, Denny, dan Sapto.


Menjadi kreatif lawak

Ya, sudahlah. Bagi saya Lenong Alternatif adalah sejarah dan sebuah workshop bagi keterlibatan saya di dunia televisi. Dua tahun setelah Chating tayang, anak-anak Cagur ini menawari saya untuk ikut terlibat sebagai tim kreatif/penulis naskah lawak mereka. Lama saya tidak menyanggupi. Pasalnya, perbedaan media ucap  menghambat saya untuk bisa berekspresi menulis sebuah treatment.

Saya ketika itu terbiasa menulis naskah panggung yang setnya bisa semau-maunya. Padahal, dalam lawak setnya hanya satu untuk dipakai berbagai adegan. Selain itu, saya juga tidak yakin bisa membuat adegan lucu dalam sebuah treatment. Pasalnya, saya biasa menguraikan naskah lengkap dengan dialog dan deskripsi aksi si pelakon.

Akhirnya saya bisa mengatasi semua persoalan, mulailah saya menjadi penulis treatment komedi. Saya menulis pertama-tama bukan untuk program Chating-nya Cagur tapi untuk Asep Show di TPI pada tahun 2000. Saya menulis bersama Bambang Seno, Mas Darminto, dan Dikcy Chandra. Sejak saat itu saya tergabung dalam tim kreatif Cagur bersama Bambang Seno dan Rudy Sipit. Setahun kemudian, dua teman karib saya Bayu dan Indro juga ikut bergabung.
Namun, akhirnya saya, Indro, Bayu, dan Rudy Sipit—yang lebih banyak berperan sebagai pengatur laku—yang bertahan terus mengkreatifi Cagur. Adapun Bambang Seno lebih banyak nongkrong di TPI, apalagi ketika progam API diluncurkan.


Keluar biar lebih berkembang

Setelah lima tahun kami mulai dihinggapi kejenuhan. Padahal, program komedi yang kami tulisi naskahnya selama menjadi kreatif Cagur dan sekaligus menjadi kreatif PH-nya cukup banyak. Mulai dari Asep show, Chating, Mat Dongeng, Komedi Putarr, Show Time, Ngabuburit Kocag, Ketawa Sebelum Buka, dan Buka Pake Ketawa, dan sebagainya.

Kejenuhan itu memuncak, kendati didahului dengan perselisihan kecil, saya ingin mencari pengalaman baru. Akhirnya pada tahun 2005 saya, Indro, dan Bayu resmi mundur sebagai tim kreatif Cagur. Saya akhirnya menulis untuk Ngelenong Nyok di Trans TV, Bayu ikut bergabung dengan PH yang didirikan Komeng bersama Rudy Sipit. Adapun Indro asyik menekuni hobi melukisnya dan berkebun.

Kendati begitu, saya masih membantu menulis untuk PH yang menaungi Cagur jika diminta. Biar bagaimanapun, kami pernah sebagai satu keluarga yang menjalani susah dan senang bersama-sama.

Awal Perkenalan dengan Televisi


Tidak terasa, sudah sepuluh tahun lebih saya menulis untuk televisi. Sebuah perjalanan panjang. Meskipun secara materi tidak menghasilkan sesuatu yang membuat orang berdecak, secara batiniah saya merasa kaya—kendati masih merasa belum menghasilkan apa-apa.

Perjalanan ke televisi diawali perkenalan saya dan teman-teman di Unit Kesenian Mahasiswa IKIP Jakarta—sekarang Universitas Negeri Jakarta—dengan Pak Tridoso. Beliau yang membawa kami untuk berkenalan dengan Harris Cinamon, waktu produser di TPI.

Pak Tri tertarik terhadap kelompok kami, yaitu kelompok Lenong Alternatif, karena kami memiliki tim yang lengkap. Ada penulis, ada pemusik, ada pemain, ada sutradara. Yang paling penting, biarpun cerita yang kami mainkan adalah cerita tradisional—legenda atau dongeng—tapi cerita itu telah saya beri sentuhan baru yang agak nyeleneh.

Misalnya, bila pada cerita Jaka Tarub, si Jaka Tarub pasrah ketak Nawangwulan terbang ke bulan. Maka, pada cerita yang saya buat, Jaka Tarub nekad nyusul ke bulan. Waktu itu saya juga membuatkan lagu tema untuk Jaka Tarub yang syairnya:

Ceritanya Jaka Tarub Nawangwulan
Madu cinta, cinta sejati
Tapi, sayang sayang seribu sayang
Dewa-dewa kagak terima

Biar air mata darah dikeluarin
Dewa-dewa kagak punya ati
Nawangwulan yang cantik dipanggil pulang
Jaka Tarub nyusul ke bulan

Para punggawa Lenong Alternatif masa itu—sekitar 1996 pasti masih ingat. Oya, lenong kami adalah lenong bernaskah, artinya naskah yang kami mainkan adalah naskah lengkap dengan dialognya, bukan hanya treatmen atau sinopsis.
Waktu itu, untuk memainkan lakon lenong di TPI kami berlatih sepeti akan berpentas teater. Kami berlatih dari sore hari hingga larut malam. Wah, benar-benar pejuang, kami waktu itu.

Harris Cinamon dan Pak Tri lalu membawa kami ke TPI. Kami sempat syuting Lenong Alternatif sebanyak 13 epsiode. Syuting pertama, saya ingat benar, terjadi pada bulan puasa tahun 1995. Syutingnya sangat lambat, dimulai sejak bakda magrib baru selesai menjelang Subuh. Capek sekali euy.

Kami lama menunggu, kok, lenong kami tidak pernah ditayangkan oleh TPI. Tunggu punya tunggu, baru tahun 1996, sehari sehabis Lebaran, Lenong Alternatif tayang di TPI. Kami semua gembira. Sayangnya, lenong kami hanya sempat ditayangkan dua episode. Sisanya tidak jelas. Konon, tayangan kami dihentikan karena sarat dengan kritik yang pedas terhadap pemerintahan Soeharto. Tahu sendiri ketika itu TPI milik siapa.

Jumat, 14 Maret 2008

Inilah Buku Saya






ISBN 978-979-29-0131-3
4x21cm, 222 halaman
Cetakan pertama, 2008
Harga: Rp 29.900

Melalui buku ini sejatinya saya ingin mengajak pembaca mengenal. Bagaimana sesungguhnya bahasa Indonesia jurnalistik itu. Soalnya, banyak di antara kita melihat Bahasa Indonesia jurnalistik dengan sinis. Bahkan, bahasa Indonesia jurnalistik acap disinisi sebagai perusak bahasa Indonesia. Padahal, tidak demikian adanya. Bahasa jurnalistik berusaha selalu patuh terhadap kaidah bahasa Indonesia. Hanya saja, bahasa Indonesia jurnalistik memang memiliki kekhasan karena digunakan sebagai media penyampai informasi.

Kendati begitu, bahasa jurnalistik banyak menyumbang kata dalam kosa bahasa Indonesia. Sebutlah kata Anda, heboh, santai, sadis, dan nyaris adalah sedikit contoh dari begitu banyak kata yang dilempar kaum jurnalis ke dalam bahasa Indonesia. Bukan hanya itu, bahasa jurnalistik pun banyak menyumbang ragam kalimat dalam bahasa Indonesia.

Kebutuhan memberi informasi yang padat, singkat, jelas, dan menariklah yang membuat bahasa jurnalistik menjadi sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia baku. Namun, apakah yang membuat sebuah tulisan di media massa menarik? Judul tulisan. Benar, judul-judul dalam media cetak begitu menarik. Jangan heran. Bab II buku ini akan memberikan panduan jitu membuat judul yang menggigit seperti itu. Baik itu judul untuk tabloid atau judul surat kabar.

Keinginan agar pembaca dapat membaca dengan nyaman. Media massa melakukan beberapa koreksi terhadap ejaan. Misalnya penggunaan titik untuk singkatan nama dalam tubuh tulisan sering diabaikan karena titik membuat pembaca tidak lancar menelusuri kalimat demi kalimat. Bukan cuma itu, media massa pun memberi beberapa tambahan dalam penggunaan tanda baca. Dengan begitu, ejaan kita menjadi lebih kaya.

Berbagai pernak-pernik dalam media cetak juga dibahas secara mendalam dalam Bab II. Kita dapat belajar bagaimana menuliskan gelar akademik, nama generik, dan nama geografis. Ini merupakan solusi dari kebingungan kita, mana yang benar Tanah Abang atau Tanahabang, gudeg Jogja atau gudeg jogja. Bahkan, media cetak kita pun menuliskan dengan tidak seragam.

Kejelasan informasi yang disampai adalah wajib bagi media massa. Adakah kata-kata yang dapat memperjelas informasi? Ada. Mari kita buka Bab III. Dalam bab ini kita akan melihat bagaimana perilaku kata sehingga dapat memperjelas informasi. Di samping itu pun penggunaan potensi bahasa daerah dan bahasa gaul dapat lebih membuat kalimat kita tepat sasaran.

Akhirnya pada bagian terakhir kita akan menelisik bagaimana sebuah kalimat itu menjadi informatif. Ternyata, kalimat informatif adalah kalimat yang bersubyek. Selain itu, penggunaan kekayaan budaya bahasa kita pun, seperti idiom dan peribahasa dapat lebih menajamkan informasi yang kita sampaikan. Selain itu, tentu saja kalimat kita menjadi lebih enak dibaca. Untuk membuat kalimat lebih ringkas, di antaranya kita bisa melakukan penghematan melalui ejaan dan kata kerja. Bagaimana caranya? Kita akan mendapatkan langkah-langkahnya dalam bab terakhir ini. 

Buku Saya Diterbitkan


Di awal Februari ini ada yang menggembirakan. Buku saya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik diterbitkan oleh Penerbit Andi, Yogyakarta. Ya, akhirnya buku ini diterbitkan setelah lama tersimpan di laci.

Proses pengerjaan buku ini terbilang lama. Sejak 1999 hingga 2003. Maklum saja, pengerjaannya tidak disiplin alias kalau sempat baru ditulis. Kalau mau dirunut lebih jauh lagi, buku itu sejatinya mulai ditulis jauh sebelum 1999. Awalnya merupakan catatan saya terhadap pekerjaan yang saya tekuni sejak 1990, yaitu sebagai penyunting bahasa.

Perubahan wujud menjadi buku makin kuat ketika pada 1998-1999 saya sempat kuliah pada program magister (S-2) linguistik di Universitas Indonesia. Dari perkuliahan ini saya mendapat teori-teori linguistik terbaru. Teori-teori ini merupakan pencerahan bagi saya. Saya menjadi makin kritis melihat perkembangan bahasa media massa. Makanya perlahan tapi pasti catatan itu pun berubah menjadi buku.

Sesungguhnya buku ini pernah ditawarkan kepada sebuah penerbit di Yogyakarta juga setahun setelah selesai saya tulis. Tapi, oleh penerbit ini naskah buku saya dikembalikan untuk diperbaiki. Katanya, segmen pasarnya mesti diperluas hingga anak SMP. Wah, itu berarti saya harus mengubah seluruh struktur penulisan dalam naskah tersebut. Capek deh! Apalagi ketika itu saya sedang banyak-banyaknya pekerjaan. Saya sedang membantu sebuah majalah kelautan baru bernama Layar, sebagai konsultan penulisan dan penyuntingan. Majalah ini ingin gaya penulisannya lebih populer. Sudah begitu, saya masih pula harus menulis untuk Ngelenong Nyok! dan Komedi Betawi di TransTV.

Akhirnya, sang naskah buku pun tergeletak begitu saja di dalam laci. Hingga pada 2007 saya mencoba menawarkan kepada Penerbit Andi. Penerbit asli Yogyakarta ini pun menyetujui untuk menerbitkan buku tersebut. Ya, sudah buku saya tersebut diterbitkan dan muncul pada awal 2008 ini.