Sabtu, 20 September 2014

Anakku Harus Memiliki Buku di Ultahnya

Ada seorang teman yang ingin sekali anaknya memiliki buku sendiri.  Saya menyarankan agar dia membelikan saja barang beberapa buah di toko buku. Dia memelototkan matanya  kepada saya. Saya tersenyum, karena sejak awal sebenarnya saya tahu yang dimaksud teman saya adalah buku yang ditulis sendiri oleh anaknya dan dicetak. Saya tanya kepada teman saya itu, apakah anaknya senang membaca? Dia menggeleng. Apakah anaknya senang menceritakan pengalamannya? Dia menggeleng. 

Dari satu sisi ini jelas merepotkan.  Pasalnya, menulis adalah proses reproduksi dari apa yang dia baca. Dari membaca si anak mendapatkan gambaran bagaimana bertutur dengan bahasa tulis. Merasakan nikmatnya dibuai dengan permainan kata-kata yang tertulis dalam buku, merasakan betapa teks yang dibacanya mampu membangkitkan emosinya. Teks yang dibacanya memberi pengalaman baru, imajinasinya ikut berkembang, mengembara dalam dunia fiksi yang dibangun penulis.

Menulis memang proses reproduksi dari apa yang dibaca. Namun tentu saja merupakan reproduksi kreatif.  Bacaan memberi stimulus untuk membuat tulisan baru. Makanya, pakar sastra sering bilang bahwa sebuah karya tidak hadir dari kekosongan. Itu karena sebuah karya  dapat hadir karena dipengaruhi oleh karya lain.


Jadi bagaimana?  Tanya teman saya itu. Saya meminta  teman saya itu mulai mengajak anaknya untuk rajin membaca. Siapa tahu tanpa disuruh, keinginan si anak  dapat tumbuh dengan sendirinya. Menulis sejatinya hanya merupakan bonus dari kegemaran membaca.  Yang pasti, membaca akan memperluas wawasan anak dan membuat anak mampu berpikir logis.

Namun, mengajak anak membaca susah, tidak semudah membalikkan telapak tangan? Ya usaha dong. Berikan buku yang sesuai dengan minatnya. Kalau si anak senang sepak bola, berilah buku yang bertema atau berkait dengan sepak bola. Insya Allah, si anak akan suka. Kalau tidak bisa juga, ada satu jalan keluar. Tulislah cerita anak, bisa ditulis oleh orang tua, bisa juga kolaborasi dengan sang anak. Teman saya tidak setuju dengan usul saya. Sebab, akan ketahuan bahwa buku itu ditulis oleh orang dewasa.  Ah, gampang itu. Berikan buku tersebut ke seorang penyunting, bahasanya bisa diubah menjadi bahasa anak-anak.

Teman saya itu tetap tidak setuju. Dia beranggapan bahasa anak yang dibuat penyunting tentu akan menghasilkan bahasa anak yang bagus dan baku. Padahal, dia menginginkan buku sesuai dengan cara anaknya berbahasa.  Saya hanya diam. Dia meminta saya membantunya, karena ini bisa menjadi kenang-kenangan yang berharga bagi anaknya kelak bila sudah dewasa. Tepat di hari ulang tahun anaknya yang keenam, dia ingin buku yang ditulis anaknya sudah terbit. Dia ingin memberikan buku ini sebagai suvenir kepada teman-teman anaknya.


Dia mendesak saya, dia yakin saya bisa membantunya. “Anda kan penyunting buku?” kata teman saya.  Saya hanya tertawa:  saya tidak pandai menyunting buku, saya hanya pandai menyunting wanita. Saya tengok kanan-kiri, untung tak ada istri saya.

Jumat, 12 September 2014

Dear Redaktur, Muat dong Tulisan saya

Dear redaktur, muat dong tulisan saya.
 Tulisan saya sudah tiga minggu tidak dimuat-muat.
Jika tidak dimuat, saya tidak akan mengirim tulisan saya lagi ke koran Anda.

Itulah sebagian surel yang ditujukan kepada saya. Kebetulan saat itu saya mengurusi rubrik Opini.  Saya hanya tersenyum membaca pesan dari surel itu.  Tapi, saya melihat hal ini sebagai suatu yang wajar.  Orang sudah mengirim sesuatu tentu ingin mengetahui bagaimana nasib dari kirimannya.  Yang menjadi soal apakah para penulis ini sudah melakukan refleksi mengapa tulisannya sampai sekian lama tidak dimuat.

Saya banyak menerima tulisan, namun tentu saja saya tidak mungkin memuat semua tulisan. Yang harus diperhatikan adalah keterbatasan halaman. Dalam satu kali terbit, koran biasanya hanya sanggup menurunkan dua tulisan. Tentu saya juga harus menyeleksi tulisan berdasarkan aktualitas. Bila aktualitas sudah terpenuhi, kemudian kedalaman tulisan tersebut.    Yang terakhir adalah bahasa tulisan tersebut, bila ada tulisan yang hampir sama namun cara bertutur dan logika kalimatnya lebih baik tentu itu yang akan saya pilih.

Selama saya menggawangi rubrik Opini, yang paling sering saya terima adalah tulisan dari mahasiswa. Dari kelompok-kelompok studi yang beraneka ragam namanya. Namun, yang saya sesalkan, agaknya mereka itu malas mengendapkan hasil diskusi dan menuliskan secara individu. Alhasil, saya pernah menerima beberapa tulisan yang hampir sama baik bahasa maupun sudut pandangnya terhadap persoalan yang dibahas. Padahal, penulis-penulis tersebut dari kelompok-kelompok studi yang berbeda.  Yang lebih parah, tulisan mereka itu sepertinya hanya menyalin-tempelkan dari tulisan temannya. Hanya diubah sedikit di pengantarnya.  Juga ada tulisan yang pengantarnya bagus, ternyata pembahasannya sama dengan  tulisan yang pernah dimuat beberapa bulan sebelumnya.

Sayangnya, tulisan mereka kebanyakan tidak fokus dalam membahas persoalan.  Pengantar tulisannya membicarakan satu hal, pembahasannya membicarakan hal lain.  Ini juga bukan hanya tulisan  dari mahasiswa, melainkan juga dari penulis yang berlabel profesional. Wah, dengan sangat terpaksa tulisan seperti saya berikan ke sekretariat untuk ditindaklanjuti karena tidak mungkin memuatnya.

Namun, saya juga pernah terpaksa tidak memuat tulisan dari pakar. Bukan tidak bagus, melainkan karena bahasanya sangat jelek. Tulisan itu saya minta agar diperbaiki, dengan beberapa catatan mengenai bahasa dan struktur penulisannya. Namun, perbaikannya sangat lama hingga ketika tulisan kembali sudah kehilangan aktualitas.

Yang agak tidak menyenangkan adalah tulisan pesanan. Terkadang untuk membahas persoalan yang pelik, saya terpaksa meminta pakar untuk menulis. Ternyata tulisan yang datang struktur penulisannya kacau, bahasanya tidak bagus. Si penulis ketika dihubungi menyatakan tidak sanggup memperbaiki tulisannya sendiri. Terpaksa saya menulis ulang tulisan tersebut agar layak muat. Pasalnya, tulisan tersebut sudah disetujui rapat redaksi.  Capek menerima tulisan seperti ini. Kalau saja tulisan tersebut bukan tulisan yang dipesan dan tidak terlalu mendukung headline, sudah saya masukkan kotak.

Saya membuka surel lagi, eh, ada pesan yang hampir sama: “Dear redaktur….!”

Senin, 08 September 2014

Realitas Sosial versus Realitas Media

Ketika membaca koran Media Indonesia dan Sindo, yang tergeletak di meja, teman saya mengerutkan kening dan geleng-geleng kepala. Saya yakin, itu bukan karena pusing. Dia menghampiri saya dan mengecup kening. Wah, ngaco, imajinasi yang ngawur. Yang betul, teman saya menghampiri saya dan menanyakan kenapa dua koran itu memberitakan peristiwa gugatan kubu Prabowo terhadap hasil pilpres (realitas sosial) yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

Saya tersenyum, teman saya melongo.  Itu terjadi karena kedua koran ini mempunyai dua cara yang berbeda  dalam membingkai berita atau menghadirkan realitas media. Lebih jelasnya, menurut Ibnu Hamad (2004:19), media massa membentuk realitas (wacana—penulis) dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah  fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu—sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu urutan cerita yang mempunyai makna.  

Teman saya mengangguk-angguk, tapi saya yakin dia tidak mengerti.   Suatu realitas media tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas suatu peristiwa. Frame ini yang akan memberi pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Dengan begitu, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang  sama memiliki makna yang berbeda. Pasalnya, konstruksi realitas itu sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut.

Namun, bagaimana proses framing itu terjadi? Ternyata proses membangun framing dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Karena itulah, Scheufele menyebut framing sebagai teori efek media. Dari sisi media, dalam proses membangun framing,  wartawan atau media  dipengaruhi oleh variabel seperti ideologi, sikap, dan norma-norma profesi.  Lalu,  seleksi pembingkaian sebagai hasil dari faktor-faktor seperti tipe atau orientasi politik media. Faktor ketiga adalah sumber-sumber eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktor politik, kecenderungan kelompok, dan elite-elite lain. Pada faktor ketiga ini suatu berita diangkat wartawan sebagai cermin diri mereka dan merefleksikan citra mereka kepada audien (Scheufele, 1999). Dari faktor-faktor tersebut framing dari suatu media atas suatu peristiwa terkonstruksi.

Itulah yang disebut dengan realitas media. Framing dilakukan berdasarkan tujuan atau priming yang ingin dicapai. Misalnya, Jokowi blusukan hingga turun ke gorong-gorong. Itu adalah realitas sosial. Priming koran Media Indonesia, misalnya, Jokowi pemimpin yang mau turun ke bawah. Priming harian Sindo, misalnya, Jokowi pandai mencari muka. Maka, berita yang diturunkan Media Indonesia bisa saja Jokowi mau berpayah-payah turun ke gorong-gorong karena ingin sungguh-sungguh mengetahui persoalan secara langsung. Sindo bisa saja memberitakan bahwa Jokowi terpaksa turun ke gorong-gorong hanya agar terkesan sebagai pemimpn yang mau turun langsung. Bisa juga ditambahkan bahwa itu terlihat dari raut wajah Jokowi yang terkesan jijik.

Jadi, satu realitas sosial bisa menjadi realitas media yang berbeda-beda. Kendati begitu, media atau wartawan tetap memiliki kode etik untuk memberikan informasi secara benar. Musim pemilu dan pilpres ini memang merupakan ujian bagi keindependenan media. Yang nyatanya susah sekali untuk diperjuangkan. Teman saya mengangguk, saya ikut saja dah!


Jumat, 06 Juni 2014

Tidak Konsisten: Harusnya Penghobi bukan Pehobi?

Kita acap mengatakan tidak konsisten ketika ada sesuatu yang menyimpang dari aturan formal yang kita pahami. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Orang langsung mengatakan tidak konsisten ketika menemukan bentuk yang menyimpang dari aturan tata bahasa.

Itu pula yang terjadi dalam sebuah diskusi internal mengenai bahasa Indonesia di kantor saya. Seorang teman dengan penuh semangat mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak konsisten. Apa pasal? Teman saya ini melihat, bila pe- bertemu kata yang diawali konsonan /h/ menjadi peng- mengapa ketika bertemu dengan kata  hobi menjadi pehobi bukan penghobi sebagaimana pe+hubung menjadi penghubung, pe+hujat menjadi penghujat, pe+hasut menjadi penghasut, pe+hafal menjadi penghafal, pe+hormat menjadi penghormat, dan seterusnya.

Sebelum menjawab rasa ingin tahu teman saya, ada baiknya kita pahami dulu bahwa tata bahasa sejatinya hanya menampung apa yang ada dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dibuatnya berdasarkan data yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, ketika menemukan suatu bentuk yang tidak sesuai dengan aturan yang ada jangan terburu-buru mengatakan bahwa itu tidak konsisten. Tetapi, kita harus memahami bahwa itulah yang terjadi dalam realitas kebahasaan kita. Kita perlu menguji dulu mengapa bentuk itu terjadi. Jangan sampai kita mengatakan suatu bentuk tidak konsisten hanya karena ketergesaan.

Kembali ke persoalan kita. Karena tata bahasa hanya menampung realitas bahasa yang ada, artinya pehobi merupakan bentuk yang memang ada dan hidup dalam masyarakat.   Bila mengacu pada argumentasi yang diajukan teman saya, sudah pasti bentuk ini tidak konsisten. Tunggu dulu. Saya masih ingat, ada relasi antara me- dengan pem- dan ber- dengan pe-.  Mari kita buktikan: kata menulis berelasi dengan penulis, membeli berelasi dengan pembeli, menubruk berelasi dengan penubruk, bertani berelasi dengan petani, bertualang berelasi dengan petualang. Akan halnya pehobi, tampaknya kata ini diturunkan dari kata berhobi. Kenapa berhobi? Karena tidak ada bentuk menghobi  sebagaimana tidak ada bentuk menani. Jadi, pehobi adalah bentuk yang benar dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Masih mau mengatakan bahwa itu tidak konsisten.

Agar teman saya tidak sedikit-sedikit mengatakan tidak konsisten, kita lihat ada juga bentuk lain yang bisa dianggap tidak konsisten. Mengapa standar+isasi menjadi standardisasi bukan standarisasi, efektif+itas menjadi efektivitas buka efektifitas, aktif+itas menjadi aktivitas bukan aktifitas. Itu terjadi karena yang diserap dari kata-kata tersebut bukan kata dasarnya. Standar merupakan serapan dari standard, standardisasi merupakan serapan dari standardization bukannya  standar+isasi. Efektif merupakan serapan dari effective, efektivitas merupakan serapan dari effectivity bukannya efektif+itas. Adapun aktif merupakan serapan dari active, aktivitas merupakan serapan dari activity bukannya aktif+itas.

Semoga saja dengan penjelasannya ini teman saya jadi tidak mudah untuk mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten. Iya tidak man.