Bahasa Betawi enggak bertingkat, tapi sopan santun tetap ada. Bahasa Betawi enggak bertingkat, kalau bertingkat itu namanya loteng. Eng, ing, eng….
BAHASA MELAYU dialek Jakarta yang biasa disebut bahasa Jakarta atau Betawi agaknya sudah menjadi bahasa gaul bagi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan, bahasa ini telah menjadi semacam identitas bagi remaja di daerah bahwa mereka adalah remaja metropolis, bukan remaja kuno.
Malahan juga, kebisaan berbahasa Jakarta dianggap sebagai modal untuk melangkah guna mengadu nasib ke Jakarta.
Bahasa Jakarta dianggap lebih memiliki nilai ekonomis ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Agaknya itu juga yang membuat daerah mengeluh makin enggannya remaja mempelajari bahasa daerahnya.
Tingkat keekonomian bahasa ini kemudian dibuktikan dengan kembalinya para perantau dari Jakarta ketika Lebaran. Mereka dianggap berhasil dan berbahasa Jakarta seolah tidak paham bahasa daerahnya sendiri.
Sayangnya, saat ini ada yang salah dalam memahami bahasa melayu dialek Jakarta itu. Bahasa Betawi tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa yang punya bahasa ngoko dan krama. Namun, setiap bahasa memiliki etika atau tingkat kesantunan. Inilah yang tidak diperhatikan oleh para penutur bahasa Jakarta—terutama yang memang baru bisa berbahasa Jakarta.
Ada etikanya
Banyak orang dari luar yang belum begitu lama mengenal budaya Betawi, dengan jumawanya ber-lu-gua dengan orang yang lebih tua. Dia belum tahu, bahasa Betawi biarpun tidak mengenal tingkatan dalam berbahasa, tapi mengenal etika.
Tetap ada perbedaan berbicara dengan teman dan orang tua. Apalagi, sedari kecil sudah ditekankan untuk menghormati orang yang lebih tua. Songon bener, kalau sama orang tua ngomongnya seperti itu. Misalnya, ketika seorang nenek-nenek sedang berjalan, dia menyapa, “Nek, mau ke mana? Lu enggak ngajak cucu lu.”
Itu jelas anak muda yang kagak ada sopan santunnya. Anak seperti ini mah kudu dikurung bareng sama buaya, biar kapok.
Memang, sih, bahasa yang tidak ada tingkatannya, tidak memiliki kata khusus, untuk membedakan ketika berbicara dengan lawan bicara tertentu. Namun, etika bisa membuat penutur memilih kata yang sesuai dengan kondisi lawan bicaranya. Jangan sampai dikurung bareng buaya ya. Salam.
Baca juga:
· Mari Melucu, Mari Melawak
· Anakku Harus Memiliki Buku di Ultahnya