Ada seorang
teman yang ingin sekali anaknya memiliki buku sendiri. Saya menyarankan agar dia membelikan saja
barang beberapa buah di toko buku. Dia memelototkan matanya kepada saya. Saya tersenyum, karena sejak
awal sebenarnya saya tahu yang dimaksud teman saya adalah buku yang ditulis
sendiri oleh anaknya dan dicetak. Saya tanya kepada teman saya itu, apakah anaknya senang
membaca? Dia menggeleng. Apakah anaknya senang menceritakan pengalamannya? Dia
menggeleng.

Menulis
memang proses reproduksi dari apa yang dibaca. Namun tentu saja merupakan
reproduksi kreatif. Bacaan memberi
stimulus untuk membuat tulisan baru. Makanya, pakar sastra sering bilang bahwa
sebuah karya tidak hadir dari kekosongan. Itu karena sebuah karya dapat hadir karena dipengaruhi oleh karya
lain.
Jadi
bagaimana? Tanya teman saya itu. Saya
meminta teman saya itu mulai mengajak
anaknya untuk rajin membaca. Siapa tahu tanpa disuruh, keinginan si anak dapat tumbuh dengan sendirinya. Menulis
sejatinya hanya merupakan bonus dari kegemaran membaca. Yang pasti, membaca akan memperluas wawasan
anak dan membuat anak mampu berpikir logis.

Teman saya
itu tetap tidak setuju. Dia beranggapan bahasa anak yang dibuat penyunting
tentu akan menghasilkan bahasa anak yang bagus dan baku. Padahal, dia
menginginkan buku sesuai dengan cara anaknya berbahasa. Saya hanya diam. Dia meminta saya
membantunya, karena ini bisa menjadi kenang-kenangan yang berharga bagi anaknya
kelak bila sudah dewasa. Tepat di hari ulang tahun anaknya yang keenam, dia
ingin buku yang ditulis anaknya sudah terbit. Dia ingin memberikan buku ini sebagai
suvenir kepada teman-teman anaknya.
Dia
mendesak saya, dia yakin saya bisa membantunya. “Anda kan penyunting buku?”
kata teman saya. Saya hanya tertawa: saya tidak pandai menyunting buku, saya hanya
pandai menyunting wanita. Saya tengok kanan-kiri, untung tak ada istri saya.