
Pasalnya, kami harus menyuguhkan acara komedi anak. Kami harus membuat anak-anak bisa melucu sepanjang acara itu. Kami sudah membayangkan, akan sangat sulit meminta anak-anak untuk mematuhi permintaan skrip. Tapi, satu hal yang pasti, kami sangat menyadari satu sifat dasar anak-anak, yaitu bermain.
Dengan berpatokan pada karakter dasar anak-anak yang senang bermain, kami mengatur strategi menghadapi anak-anak agar bisa mencapai sesuai dengan permintaan skrip. Mereka mematuhi apa yang tertulis di skrip dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa atau terbebani. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain bersama anak-anak ini sepanjang latihan blocking dan reading.
Kami bermain bersama anak-anak itu sepanjang latihan sebelum syuting. Kami perlu mengakrab diri dengan anak-anak, karena dengan begitu emosi kami akan menyatu. Sebab, menurut hasil diskusi kami, anak-anak cenderung menarik diri terhadap orang asing atau orang-orang yang tidak begitu dikenalnya. Jadi, kami tidak mungkin bisa meminta anak-anak melakonkan suatu peran atau meminta anak berakting sesuai dengan karakternya kalau tidak dekat secara emosional dengan anak-anak ini.

Tapi, satu persoalan lagi menghinggapi kami. Ternyata kemampuan anak-anak yang mendukung Opera Anak berbeda-beda. Ada yang sudah mahir memahami skrip, tapi ada yang tidak terlalu paham dan masih bingung bahkan cara membaca dialognya belum baik. Sudah begitu usianya tidak seragam. Ada yang masih belum sekolah, ada yang masih TK, ada yang SD, tapi juga ada yang SMP.
Untunglah masih ada yang bisa menjadi andalan dari kelompok anak-anak ini, sehingga dia bisa menjadi leader untuk merajut benang merah cerita. Selain itu, untuk anak-anak yang balita benar-benar, sekitar 3-4 tahun, kami menyiasati dengan memberi dialog pendek dan berulang-ulang dalam skrip. Misalnya, “Aku centeng, aku galak”. Dialog ini yang selalu diucapkan di setiap kemunculannya.
O, iya Opera Anak menggunakan skrip penuh, bukan treatment. Jadi, kelucuan yang timbul memang tertulis lengkap dengan dialognya, meskipun masih terbuka peluang improvisasi—seperti karena lupa skrip, bingung, atau kesal. Yang pasti, kami memang meng-creat semua anak-anak seperti sedang bermain, sehingga bila lupa atau kesal mereka masih bisa melanjutkan cerita.
Sebenarnya masih banyak yang harus diungkapkan, tapi harus syuting lagi nih. Opera anak! Endoooo....ng!