Jumat, 12 September 2014

Dear Redaktur, Muat dong Tulisan saya

Dear redaktur, muat dong tulisan saya.
 Tulisan saya sudah tiga minggu tidak dimuat-muat.
Jika tidak dimuat, saya tidak akan mengirim tulisan saya lagi ke koran Anda.

Itulah sebagian surel yang ditujukan kepada saya. Kebetulan saat itu saya mengurusi rubrik Opini.  Saya hanya tersenyum membaca pesan dari surel itu.  Tapi, saya melihat hal ini sebagai suatu yang wajar.  Orang sudah mengirim sesuatu tentu ingin mengetahui bagaimana nasib dari kirimannya.  Yang menjadi soal apakah para penulis ini sudah melakukan refleksi mengapa tulisannya sampai sekian lama tidak dimuat.

Saya banyak menerima tulisan, namun tentu saja saya tidak mungkin memuat semua tulisan. Yang harus diperhatikan adalah keterbatasan halaman. Dalam satu kali terbit, koran biasanya hanya sanggup menurunkan dua tulisan. Tentu saya juga harus menyeleksi tulisan berdasarkan aktualitas. Bila aktualitas sudah terpenuhi, kemudian kedalaman tulisan tersebut.    Yang terakhir adalah bahasa tulisan tersebut, bila ada tulisan yang hampir sama namun cara bertutur dan logika kalimatnya lebih baik tentu itu yang akan saya pilih.

Selama saya menggawangi rubrik Opini, yang paling sering saya terima adalah tulisan dari mahasiswa. Dari kelompok-kelompok studi yang beraneka ragam namanya. Namun, yang saya sesalkan, agaknya mereka itu malas mengendapkan hasil diskusi dan menuliskan secara individu. Alhasil, saya pernah menerima beberapa tulisan yang hampir sama baik bahasa maupun sudut pandangnya terhadap persoalan yang dibahas. Padahal, penulis-penulis tersebut dari kelompok-kelompok studi yang berbeda.  Yang lebih parah, tulisan mereka itu sepertinya hanya menyalin-tempelkan dari tulisan temannya. Hanya diubah sedikit di pengantarnya.  Juga ada tulisan yang pengantarnya bagus, ternyata pembahasannya sama dengan  tulisan yang pernah dimuat beberapa bulan sebelumnya.

Sayangnya, tulisan mereka kebanyakan tidak fokus dalam membahas persoalan.  Pengantar tulisannya membicarakan satu hal, pembahasannya membicarakan hal lain.  Ini juga bukan hanya tulisan  dari mahasiswa, melainkan juga dari penulis yang berlabel profesional. Wah, dengan sangat terpaksa tulisan seperti saya berikan ke sekretariat untuk ditindaklanjuti karena tidak mungkin memuatnya.

Namun, saya juga pernah terpaksa tidak memuat tulisan dari pakar. Bukan tidak bagus, melainkan karena bahasanya sangat jelek. Tulisan itu saya minta agar diperbaiki, dengan beberapa catatan mengenai bahasa dan struktur penulisannya. Namun, perbaikannya sangat lama hingga ketika tulisan kembali sudah kehilangan aktualitas.

Yang agak tidak menyenangkan adalah tulisan pesanan. Terkadang untuk membahas persoalan yang pelik, saya terpaksa meminta pakar untuk menulis. Ternyata tulisan yang datang struktur penulisannya kacau, bahasanya tidak bagus. Si penulis ketika dihubungi menyatakan tidak sanggup memperbaiki tulisannya sendiri. Terpaksa saya menulis ulang tulisan tersebut agar layak muat. Pasalnya, tulisan tersebut sudah disetujui rapat redaksi.  Capek menerima tulisan seperti ini. Kalau saja tulisan tersebut bukan tulisan yang dipesan dan tidak terlalu mendukung headline, sudah saya masukkan kotak.

Saya membuka surel lagi, eh, ada pesan yang hampir sama: “Dear redaktur….!”

Senin, 08 September 2014

Realitas Sosial versus Realitas Media

Ketika membaca koran Media Indonesia dan Sindo, yang tergeletak di meja, teman saya mengerutkan kening dan geleng-geleng kepala. Saya yakin, itu bukan karena pusing. Dia menghampiri saya dan mengecup kening. Wah, ngaco, imajinasi yang ngawur. Yang betul, teman saya menghampiri saya dan menanyakan kenapa dua koran itu memberitakan peristiwa gugatan kubu Prabowo terhadap hasil pilpres (realitas sosial) yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

Saya tersenyum, teman saya melongo.  Itu terjadi karena kedua koran ini mempunyai dua cara yang berbeda  dalam membingkai berita atau menghadirkan realitas media. Lebih jelasnya, menurut Ibnu Hamad (2004:19), media massa membentuk realitas (wacana—penulis) dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah  fakta pilihan yang diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu—sehingga ada fakta yang ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk suatu urutan cerita yang mempunyai makna.  

Teman saya mengangguk-angguk, tapi saya yakin dia tidak mengerti.   Suatu realitas media tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas suatu peristiwa. Frame ini yang akan memberi pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Dengan begitu, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang  sama memiliki makna yang berbeda. Pasalnya, konstruksi realitas itu sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan dengan berita tersebut.

Namun, bagaimana proses framing itu terjadi? Ternyata proses membangun framing dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi. Karena itulah, Scheufele menyebut framing sebagai teori efek media. Dari sisi media, dalam proses membangun framing,  wartawan atau media  dipengaruhi oleh variabel seperti ideologi, sikap, dan norma-norma profesi.  Lalu,  seleksi pembingkaian sebagai hasil dari faktor-faktor seperti tipe atau orientasi politik media. Faktor ketiga adalah sumber-sumber eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktor politik, kecenderungan kelompok, dan elite-elite lain. Pada faktor ketiga ini suatu berita diangkat wartawan sebagai cermin diri mereka dan merefleksikan citra mereka kepada audien (Scheufele, 1999). Dari faktor-faktor tersebut framing dari suatu media atas suatu peristiwa terkonstruksi.

Itulah yang disebut dengan realitas media. Framing dilakukan berdasarkan tujuan atau priming yang ingin dicapai. Misalnya, Jokowi blusukan hingga turun ke gorong-gorong. Itu adalah realitas sosial. Priming koran Media Indonesia, misalnya, Jokowi pemimpin yang mau turun ke bawah. Priming harian Sindo, misalnya, Jokowi pandai mencari muka. Maka, berita yang diturunkan Media Indonesia bisa saja Jokowi mau berpayah-payah turun ke gorong-gorong karena ingin sungguh-sungguh mengetahui persoalan secara langsung. Sindo bisa saja memberitakan bahwa Jokowi terpaksa turun ke gorong-gorong hanya agar terkesan sebagai pemimpn yang mau turun langsung. Bisa juga ditambahkan bahwa itu terlihat dari raut wajah Jokowi yang terkesan jijik.

Jadi, satu realitas sosial bisa menjadi realitas media yang berbeda-beda. Kendati begitu, media atau wartawan tetap memiliki kode etik untuk memberikan informasi secara benar. Musim pemilu dan pilpres ini memang merupakan ujian bagi keindependenan media. Yang nyatanya susah sekali untuk diperjuangkan. Teman saya mengangguk, saya ikut saja dah!


Jumat, 06 Juni 2014

Tidak Konsisten: Harusnya Penghobi bukan Pehobi?

Kita acap mengatakan tidak konsisten ketika ada sesuatu yang menyimpang dari aturan formal yang kita pahami. Begitu juga yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Orang langsung mengatakan tidak konsisten ketika menemukan bentuk yang menyimpang dari aturan tata bahasa.

Itu pula yang terjadi dalam sebuah diskusi internal mengenai bahasa Indonesia di kantor saya. Seorang teman dengan penuh semangat mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak konsisten. Apa pasal? Teman saya ini melihat, bila pe- bertemu kata yang diawali konsonan /h/ menjadi peng- mengapa ketika bertemu dengan kata  hobi menjadi pehobi bukan penghobi sebagaimana pe+hubung menjadi penghubung, pe+hujat menjadi penghujat, pe+hasut menjadi penghasut, pe+hafal menjadi penghafal, pe+hormat menjadi penghormat, dan seterusnya.

Sebelum menjawab rasa ingin tahu teman saya, ada baiknya kita pahami dulu bahwa tata bahasa sejatinya hanya menampung apa yang ada dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dibuatnya berdasarkan data yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, ketika menemukan suatu bentuk yang tidak sesuai dengan aturan yang ada jangan terburu-buru mengatakan bahwa itu tidak konsisten. Tetapi, kita harus memahami bahwa itulah yang terjadi dalam realitas kebahasaan kita. Kita perlu menguji dulu mengapa bentuk itu terjadi. Jangan sampai kita mengatakan suatu bentuk tidak konsisten hanya karena ketergesaan.

Kembali ke persoalan kita. Karena tata bahasa hanya menampung realitas bahasa yang ada, artinya pehobi merupakan bentuk yang memang ada dan hidup dalam masyarakat.   Bila mengacu pada argumentasi yang diajukan teman saya, sudah pasti bentuk ini tidak konsisten. Tunggu dulu. Saya masih ingat, ada relasi antara me- dengan pem- dan ber- dengan pe-.  Mari kita buktikan: kata menulis berelasi dengan penulis, membeli berelasi dengan pembeli, menubruk berelasi dengan penubruk, bertani berelasi dengan petani, bertualang berelasi dengan petualang. Akan halnya pehobi, tampaknya kata ini diturunkan dari kata berhobi. Kenapa berhobi? Karena tidak ada bentuk menghobi  sebagaimana tidak ada bentuk menani. Jadi, pehobi adalah bentuk yang benar dan bersistem dalam bahasa Indonesia. Masih mau mengatakan bahwa itu tidak konsisten.

Agar teman saya tidak sedikit-sedikit mengatakan tidak konsisten, kita lihat ada juga bentuk lain yang bisa dianggap tidak konsisten. Mengapa standar+isasi menjadi standardisasi bukan standarisasi, efektif+itas menjadi efektivitas buka efektifitas, aktif+itas menjadi aktivitas bukan aktifitas. Itu terjadi karena yang diserap dari kata-kata tersebut bukan kata dasarnya. Standar merupakan serapan dari standard, standardisasi merupakan serapan dari standardization bukannya  standar+isasi. Efektif merupakan serapan dari effective, efektivitas merupakan serapan dari effectivity bukannya efektif+itas. Adapun aktif merupakan serapan dari active, aktivitas merupakan serapan dari activity bukannya aktif+itas.

Semoga saja dengan penjelasannya ini teman saya jadi tidak mudah untuk mengatakan bahasa Indonesia tidak konsisten. Iya tidak man. 

Minggu, 01 Agustus 2010

Opera Anak: Betapa Susahnya Meng-creat Anak-Anak



Ketika diminta menjadi kreatif dan penulis skrip untuk Opera Anak Endong di Trans7, saya dan teman-teman sudah membayangkan, akan banyak kesulitan yang akan dihadapi.

Pasalnya, kami harus menyuguhkan acara komedi anak. Kami harus membuat anak-anak bisa melucu sepanjang acara itu. Kami sudah membayangkan, akan sangat sulit meminta anak-anak untuk mematuhi permintaan skrip. Tapi, satu hal yang pasti, kami sangat menyadari satu sifat dasar anak-anak, yaitu bermain.

Dengan berpatokan pada karakter dasar anak-anak yang senang bermain, kami mengatur strategi menghadapi anak-anak agar bisa mencapai sesuai dengan permintaan skrip. Mereka mematuhi apa yang tertulis di skrip dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa atau terbebani. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain bersama anak-anak ini sepanjang latihan blocking dan reading.

Kami bermain bersama anak-anak itu sepanjang latihan sebelum syuting. Kami perlu mengakrab diri dengan anak-anak, karena dengan begitu emosi kami akan menyatu. Sebab, menurut hasil diskusi kami, anak-anak cenderung menarik diri terhadap orang asing atau orang-orang yang tidak begitu dikenalnya. Jadi, kami tidak mungkin bisa meminta anak-anak melakonkan suatu peran atau meminta anak berakting sesuai dengan karakternya kalau tidak dekat secara emosional dengan anak-anak ini.


Tapi, satu persoalan lagi menghinggapi kami. Ternyata kemampuan anak-anak yang mendukung Opera Anak berbeda-beda. Ada yang sudah mahir memahami skrip, tapi ada yang tidak terlalu paham dan masih bingung bahkan cara membaca dialognya belum baik. Sudah begitu usianya tidak seragam. Ada yang masih belum sekolah, ada yang masih TK, ada yang SD, tapi juga ada yang SMP.

Untunglah masih ada yang bisa menjadi andalan dari kelompok anak-anak ini, sehingga dia bisa menjadi leader untuk merajut benang merah cerita. Selain itu, untuk anak-anak yang balita benar-benar, sekitar 3-4 tahun, kami menyiasati dengan memberi dialog pendek dan berulang-ulang dalam skrip. Misalnya, “Aku centeng, aku galak”. Dialog ini yang selalu diucapkan di setiap kemunculannya.

O, iya Opera Anak menggunakan skrip penuh, bukan treatment. Jadi, kelucuan yang timbul memang tertulis lengkap dengan dialognya, meskipun masih terbuka peluang improvisasi—seperti karena lupa skrip, bingung, atau kesal. Yang pasti, kami memang meng-creat semua anak-anak seperti sedang bermain, sehingga bila lupa atau kesal mereka masih bisa melanjutkan cerita.

Sebenarnya masih banyak yang harus diungkapkan, tapi harus syuting lagi nih. Opera anak! Endoooo....ng!

Minggu, 22 November 2009

Lawakan Solusi

Terkadang dalam melawak di depan umum kita merasa tidak mampu menyatukan emosi penonton dengan kita. Selain itu, terkadang kita juga suka kehabisan bahan atau ide. Biasanya, para pelawak—paling tidak beberapa pelawak yang sempat saya tanyai—memanfaatkan keadaan di sekelilingnya. Atau, dengan menggunakan jurus lawakan yang paling mudah. Yaitu:


1. Mengartikan kata
Misalnya melawak dalam rangka memperingati hari Pahlawan. Kata pahlawan bisa disingkat dengan memberikan makna baru. Misalnya skrip lengkapnya:

- Kata pahlawan punya artinya tersendiri
+ Atersendiri gimana?
- Pah artinya pahala, la artinya laksanakan, wan artinya perlawanan.
+ Jadi pahlawan artinya apa?
- Pahlawan, pahala yang didapat karena melakukan perlawanan…terhadap penjajah!

Cara seperti ini biasanya efektif menyatukan emosi penonton dengan pelawak. Selain itu, bisa juga nama kepala desa, lurah, atau tokoh masyarakat kita perlakukan seperti itu. Tentunya, dengan artinya yang baik.

2. Kata berujung sama
Selain itu, solusi yang paling gampang lagi adalah dengan mencerocoskan kata-kata yagn berujung sama. Misalnya:

Gue emang orang penting, yang sukanya nglinting, pakenya gunting, dikejar orang sinting, ntar juga dibanting sampe bunting.

Pemakaian kata yang berujung sama—seperti -ting di atas—ternyata mampu mengikat pendengar untuk menunggu kata berikutnya dari si pelawak.



3. Pantun
Pantun sejatinya merupakan lawakan yang paling mudah dan biasanya bias selalu mengundan tawa penonton, minimal tersenyumlah. Tapi, pantun bagaimana yang bisamengundang tawa. Bila kita menggunakan pantun baku seperti:

Tapi, pantun gaul atau pantun yang sampiran dan pilihan katanya sudah akrab dengan kita. Dan buatlah sebias mungkin pantun itu sudah lucu sejak sampiran. Misalnya:Namun, setiap pelawak hampir tidak pernah memakai hanya satu gaya lawakan. Dia bisa memakai beberapa sekaligus.

Minggu, 08 November 2009

Melawak, Beraneka Caranya

Dari perjalanan dunia lawak kita, sejatinya lelucon lawak kita hanya terbagi dalam enam bagian besar. Para pelawak kita berusaha mengundang tawa dengan lawakan-lawakannya.

1. Lawakan jorok/porno

Saya sering menyebut lawakan jenis ini sebagai lawakan pasar. Pasalnya, setiap orang berpotensi bisa membuat lelucon yang porno ini. Coba saja tengok orang yang bererumun dan tertawa-tawa, paling tidak mereka tertawa dengan melontarkan lawakan porno. Biasanya, saya menyarankan lawakan ini sebagai lawakan pamungkas ketika sudah tidak mampu lagi membuat tawa penonton. Biasanya lawakan porno memang komunikatif, karena setiap orang pasti tahu. Kendati begitu, sekali lagi saya menyarankan hindari lawakan jenis ini.

2. Lawakan fisik

Lawakan yang modal dasarnya adalah dengan mengekploitasi fisik lawan bermain. Dulu Big Dikcy dan Adul sering dijadikan bahan lawakan model ini untuk menimbulkan kelucuan. Atau bagaimana warna kulit dan wajah Bedu yang tidak ganteng sering dijadikan bahan bagi lawan bermainnya dama Ngelenong Nyok! Begitu pula dengan nasib Narji dari Grup Cagur dalam Chating di TPI.

Big Dikcy kerap dianalogikan dengan kulkas tiga pintu, truk tronton, bus malam, beruang, jin tomang. Adul disamakan dengan kecebong, nyingnying, tikus got, tuyul. Adapun Bedu disamakan dengan aspal, pantat panci, dakocan, kopi, manggis, arang, dan saebagainya. Narji juga terkenal dengan wajahnya yang jelek dan disebut juga dengan anak beruang.

Yang lebih parah dalam lawakan fisik adalah mencela atau menghina orang secara berlebihan. Agaknya, hal ini didasari oleh premis bahwa orang sesungguhnya senang melihat orang lain susah. Maka itu, selalu ada korban dalam lawakan jenis ini. Bukankah, si Omas dulu sering disebut gigi mancung. Misalnya: di mana-mana orang yang mancung hidungnya, ini malah giginya. Namun, bukan berarti yang menjadi korban dari lawakan model ini menjadi kurang unggul. Kita bisa melihat ada Yati Pesek, Tukul Arwana, Gogon, Adul, Narji, Bedu, Oki Lukman. Terkadang kekurangan fisik bisa mencuatkan anam seseoarang.

Tapi, lawakan fisik tidak selalu berhasil. Apalagi bila celaan fisik membuat lawan main kita tidak nyaman. Selain itu, melawak hanya mengandalkan lawakan fisik menunjukkan kedangkalan kita dalam melawak. Atau, juga penonton bisa mengira kita kehabisan bahan.

Malah saya pernah mengharamkan lawak fisik ketika mengkreatifi pelawak pemula untuk terjun dalam lomba. Pasalnya, lawak fisik tidak mencerminkan lawakan intelektual. Pasalnya, ketika itu grup lawak pemula ini adalah mahasiswa.

3. Lawakan kasar

Lawakan kasar atau biasanya juga disebut slaptis. Lawakan ini sejatinya juga hanya urusan kekerasan fisik. Orang terjengkang. Terjatuh. Terpeleset. Duduk tidak tepat di kursi hingga terjatuh. Kejedot. Benturan orang dengan orang. Orang dipukul/ditampar. Salah memasukkan makanan ke mata bukannya ke mulut. Orang terkena bom tidak apa-apa hanya hangus dan bajunya sobek-sobekk. Bahkan, seperti film-film komedi lama kita yang sering ramai dengan adegan orang terkena timpukan kue tart.

Lawakan jenis ini efektif untuk memancing tawa orang dari segmen kelas bawah kendati kelas di atasnya juga acap bisa menikmatinya. Untuk audiens anak-anak, lawakan jenis ini lebih efektif untuk memancing tawa ketimbang lawakan jenis lainnya. Makanya dalam sirkus acap ditampilkan badut-badut yang melawak secara slaptis.

Lawakan slaptis ini kini kerap dihindari, kecuali oleh para pelawak yang berlatar tradisi.


4. Lawakan parodi/pelesetan

Parodi jenis lawakan yang paling sering ditampilkan oleh Project Pop. Yaitu memelesetkan sesuatu yang sudah diketahui oleh masyarakat. Seperti bila dalam cerita Jaka Tarub yang mencuri selendang terbang adalah Nawang Wulan, bisa saja ternyata Nawang Wulan yang mencuri baju si Jaka Tarub agar dia mau menjadi kekasihnya. Atau ketika Nawang Wulan bisa kembali ke khayangan karena menemukan selendang terbangnya, jaka Tarub nekad nyusul ke bulan bersama anaknya.

Sejalan dengan gaya lawakan parodi ini, yaitu lawakan banci-bancian. Lelaki memakai pakaian wanita dan bergaya overakting sebagai wanita yang melakukan hal-hal yang tabu dilakukan wanita, seperti menyingkap roknya sendiri.


5. Lawakan metropolis/intelek

Lawakan yagn dibawakannya merupakan lawakan kota. Maka, peran-perannya pun seperti pengusaha, karyawan, ibu rumah tangga dan lain-lain. Lawakan mertropolis seperti yang ditampilkan oleh Extravaganza dan Ngelenong Nyok!

Selain itu, penampilan pera pelawak baru, yang notabene mahasiswa atau sarjana, kerap menampikan lawak metropolis ini. Lwakan metropolis ini diawali oleh trio Warkop—Dono, Kasiono, Indro. Penampilan mereka semua seperti orang-orang kota dan dengan lelucon yang lebih tertata. Lawakan seperti ini kerap juga disebut lawakan intelek.

Karakter yang ditampilkan dalam lawakn metropolis ini berubah-ubah bergantung pada kebutuhan cerita yang dimainkan.


6. Lawakan tradisonal

Lawakan jenis ini seperti yang ditampilkan oleh Ketoprak Humor. Secara perorang pelawak kita yagn etetap mempertahankan ciri ketradisionalannya adalah Jojon. Model lawakan yang hanya mengandalkan gestur dan karakter yang selalu sama. Citra yang ditampilkan, kendati dia berganti karakter, selalu sama.

Minggu, 01 November 2009

Mari Melucu, Mari Melawak

Hal yang paling utama dalam melawak adalah melucu Melawak tanpa melucu adalah suatu kemustahilan. Tapi, apa sebenarnya lucu itu?

Seorang pemimpin pabrik tawa Srimulat, Teguh, pernah berujar bahwa lucu itu aneh. Agaknya, inilah yang mendasari mengapa para pemain Srimulat berpenampilan aneh. Lihat saja penampilan Gogon dengan rambut jambulnya, atau Mamik “Kepodang” Prakoso dengan rambut di sisi kepalanya bak bulu burung. Tentu masih ingat Asmuni dengan kumis caplinnya.

Penampilan seperti itu sejatinya juga untuk mempersiapkan penonton bahwa mereka sedang menonton lawak. Dengan begitu, penonton sudah siap untuk tertawa. Itu dari sisi penampilan. Dari sisi lelucon pun Teguh memegang prinsip yang sama. Lucu itu aneh. Aneh itu menyimpang. Tampaknya, soal yang satu ini, sejalan dengan pendapat bahwa lucu itu sesungguhnya adalah logika yang menyimpang. Ada juga yang menyebut logika mencong.

Jadi, lucu itu bila terjadi suatu ketidaklaziman atau aneh itu tadi। Bila orang berpikir lurus atau linear, maka para pelawak harus membelokkan yang lurus tadi. Pelawak memang harus berpikir tidak seperti orang kebanyakan. Misalnya:

Seseorang mencari susu di sebuah toko.

Penjual : Cari susu apa? Susu sapi, susu
kedelai, atau susu kambing।
Pembeli : Susu kupu-kupu.
Penjual : Mana ada susu kupu-kupu
Pembeli : Ada. Susu kupu-kupu malam
Penjual : ?!?

Mari kita lihat. Ketika penjaga toko mengatakan bahwa memangnya kupu-kupu ada susunya. Ini adalah cara berpikir lurus atau linear. Logika ini kemudian dibelokkan oleh orang yang mencari susu dengan menjawab kupu-kupu malam.

Kelucuan terbangun bukan saja karena logika yang mencong, melainkan juga oleh melompatnya pikiran dari kupu-kupu yang merupakan serangga menjadi kupu-kupu malam yang tentu saja manusia। Hal ini pun sesuai dengan formula set-up dan punch line.